Banjarmasin, BPHN.go.id – Tantangan melahirkan pejabat fungsional Analis Hukum yang berkualitas di wilayah menjadi perhatian Pemerintah Daerah (Pemda). Meskipun tergolong jabatan fungsional baru, Analis Hukum punya peran strategis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini berkaitan dengan evaluasi Peraturan Daerah (Perda). Hal tersebut yang mengemuka dalam FGD bertajuk Penyusunan Konsepsi Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemantauan Peninjauan Undang-Undang/ Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan, Selasa (16/5) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmy mengatakan bahwa saat ini BPHN tengah menyusun Rancangan Peraturan Presiden (RPerpes) yang merupakan tindaklanjut dari Pasal 95B ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Konsepsi RPerpres perubahan Perpres Nomor 87 Tahun 2014 terkait substansi analisis dan evaluasi hukum nantinya akan mengatur lebih detil terkait pemantauan dan peninjauan termasuk kegiatan analisis dan evaluasi hukum itu sendiri.
“Upaya tersebut dilakukan untuk memperkuat fungsi analisis dan evaluasi Hukum sebagai salah satu fungsi utama dari BPHN berdasarkan Peraturan Presiden serta Permenkumham yang mengatur mengenai Organisasi dan Tata Kerja kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Yunan, saat menyampaikan keynote speech.
Untuk menguatkan konsepsi RPerpres tersebut, BPHN menggelar sejumlah FGD salah satunya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang melibatkan sejumlah unsur seperti Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Selatan, Biro Hukum Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, serta dari kalangan akademisi dari perguruan tinggi. Saat membuka acara, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Selatan, Faisol Ali berharap diskusi dalam FGD ini menghasilkan solusi yang out of the box.
“Kami berharap agar peserta, baik dari kalangan birokrasi maupun akademisi, dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran dan pengalamannya terkait praktik, persoalan, dan tawaran solusi dalam rangka kegiatan pemantauan dan peninjauan undang-undang/analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan yang selama ini sama-sama kita lakukan secara bersinergi di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,” kata Faisol.
Saat sesi diskusi, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar, Ahmad Rizal Putra mengatakan, tantangan dalam melakukan pembinaan Analis Hukum perlu menjadi perhatian serius bagi instansi pembina terutama Analis Hukum yang berasal dari hasil penyetaraan jabatan atau bukan merupakan jabatan fungsional murni. Mekanisme pembinaan, misalnya pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi Analis Hukum di pusat maupun daerah mulai dari tingkat Provinsi serta Kabupaten/Kota merupakan hal yang urgent untuk segera ditetapkan kebijakannya.
“Poin yang sangat penting diatur dalam Rancangan Perpres adalah mengenai peran Analis Hukum khususnya di daerah,” kata Putra.
Tak hanya persoalan kualitas, contoh kondisi yang dialami Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar, lanjut Putra, adalah minimnya jumlah sumber daya manusia yang bertugas melakukan pemantauan dan peninjauan/ analisis dan evaluasi dalam mengawal penataan regulasi di daerah. Saat ini, masih kata Putra, di tempatnya hanya memilki lima orang Analis Hukum yang lahir dari hasil penyetaraan jabatan. Makanya, usulan agar kualitas para Analis Hukum dan kesesuaian jumlah sumber daya manusia dengan beban kerja mesti jadi perhatian instansi pembina Analis Hukum.
Merespons hal tersebut, Dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Jimmy Z Usfunan, sependapat dengan Putra soal perlunya memikirkan jumlah sumber daya manusia untuk melakukan pemantauan dan peninjauan/ analisis dan evaluasi. Sebab, apabila melihat jumlah undang-undang per saat ini mencapai 1.734, pertanyaannya adalah bagaimana caranya mengatur pembagian tugas kepada para Analis Hukum untuk melakukan analisis dan evaluasi dengan waktu yang singkat? Pasalnya, melakukan analisis dan evaluasi tidak mudah serta perlu tolok ukur yang tepat agar tugas yang dilakukan Analis Hukum tidak bertabrakan dengan jabatan fungsional lain, dalam hal ini Perancang Peraturan Perundang-Undangan.
“Undang-undang itu produk DPR dan pemerintah, ditinjau dalam waktu 1 – 2 bulan oleh para Analis Hukum padahal belum ada riak-riak persoalan di masyarakat. Ini akan menimbulkan persoalan apakah kajian ini didasarkan pada intepretasi semata atau betul-betul mendasarkan pada persoalan yang betul-betul dirasakan masyarakat. Oleh sebab itu, saya berikan ruang untuk diawal lakukan wawancara atau turun ke lapangan untuk melihat realita yang dirasakan oleh masyarakat sehingga masyarakat itu meraskan kerugian atas suatu undang-undang yang dihasilkan,” papar Jimmy.
Senada dengan Jimmy, Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Mirza Satria Buana mengatakan penilaian atas pelaksanaan undang-undang memerlukan tolok ukur atau parameter yang jelas, baik formal maupun materil. Dalam pandangan Mirza, perlu menggunakan pendekatan hukum inter-disipliner, yakni tidak semata-mata berfokus pada teks peraturan melainkan juga konteks pembentukan peraturan serta rasio yang melatarbelakangi dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan.
“Ketika menggunakan pendekatan Post-Legislative Scrutiny (PLS), proses legislasi yang sempurna adalah yang full-cycle to law-making, tidak semata merancang, membahas (memastikan materi taat asas dan kewenangan) dan mengesahkan. Namun, juga melihat bagaimana perundang-undangan dilaksanakan dan dampaknya kepada masyarakat,” papar Mirza.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmy mengatakan bahwa saat ini BPHN tengah menyusun Rancangan Peraturan Presiden (RPerpes) yang merupakan tindaklanjut dari Pasal 95B ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Konsepsi RPerpres perubahan Perpres Nomor 87 Tahun 2014 terkait substansi analisis dan evaluasi hukum nantinya akan mengatur lebih detil terkait pemantauan dan peninjauan termasuk kegiatan analisis dan evaluasi hukum itu sendiri.
“Upaya tersebut dilakukan untuk memperkuat fungsi analisis dan evaluasi Hukum sebagai salah satu fungsi utama dari BPHN berdasarkan Peraturan Presiden serta Permenkumham yang mengatur mengenai Organisasi dan Tata Kerja kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Yunan, saat menyampaikan keynote speech.
Untuk menguatkan konsepsi RPerpres tersebut, BPHN menggelar sejumlah FGD salah satunya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang melibatkan sejumlah unsur seperti Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Selatan, Biro Hukum Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, serta dari kalangan akademisi dari perguruan tinggi. Saat membuka acara, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Selatan, Faisol Ali berharap diskusi dalam FGD ini menghasilkan solusi yang out of the box.
“Kami berharap agar peserta, baik dari kalangan birokrasi maupun akademisi, dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran dan pengalamannya terkait praktik, persoalan, dan tawaran solusi dalam rangka kegiatan pemantauan dan peninjauan undang-undang/analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan yang selama ini sama-sama kita lakukan secara bersinergi di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,” kata Faisol.
Saat sesi diskusi, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar, Ahmad Rizal Putra mengatakan, tantangan dalam melakukan pembinaan Analis Hukum perlu menjadi perhatian serius bagi instansi pembina terutama Analis Hukum yang berasal dari hasil penyetaraan jabatan atau bukan merupakan jabatan fungsional murni. Mekanisme pembinaan, misalnya pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi Analis Hukum di pusat maupun daerah mulai dari tingkat Provinsi serta Kabupaten/Kota merupakan hal yang urgent untuk segera ditetapkan kebijakannya.
“Poin yang sangat penting diatur dalam Rancangan Perpres adalah mengenai peran Analis Hukum khususnya di daerah,” kata Putra.
Tak hanya persoalan kualitas, contoh kondisi yang dialami Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar, lanjut Putra, adalah minimnya jumlah sumber daya manusia yang bertugas melakukan pemantauan dan peninjauan/ analisis dan evaluasi dalam mengawal penataan regulasi di daerah. Saat ini, masih kata Putra, di tempatnya hanya memilki lima orang Analis Hukum yang lahir dari hasil penyetaraan jabatan. Makanya, usulan agar kualitas para Analis Hukum dan kesesuaian jumlah sumber daya manusia dengan beban kerja mesti jadi perhatian instansi pembina Analis Hukum.
Merespons hal tersebut, Dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Jimmy Z Usfunan, sependapat dengan Putra soal perlunya memikirkan jumlah sumber daya manusia untuk melakukan pemantauan dan peninjauan/ analisis dan evaluasi. Sebab, apabila melihat jumlah undang-undang per saat ini mencapai 1.734, pertanyaannya adalah bagaimana caranya mengatur pembagian tugas kepada para Analis Hukum untuk melakukan analisis dan evaluasi dengan waktu yang singkat? Pasalnya, melakukan analisis dan evaluasi tidak mudah serta perlu tolok ukur yang tepat agar tugas yang dilakukan Analis Hukum tidak bertabrakan dengan jabatan fungsional lain, dalam hal ini Perancang Peraturan Perundang-Undangan.
“Undang-undang itu produk DPR dan pemerintah, ditinjau dalam waktu 1 – 2 bulan oleh para Analis Hukum padahal belum ada riak-riak persoalan di masyarakat. Ini akan menimbulkan persoalan apakah kajian ini didasarkan pada intepretasi semata atau betul-betul mendasarkan pada persoalan yang betul-betul dirasakan masyarakat. Oleh sebab itu, saya berikan ruang untuk diawal lakukan wawancara atau turun ke lapangan untuk melihat realita yang dirasakan oleh masyarakat sehingga masyarakat itu meraskan kerugian atas suatu undang-undang yang dihasilkan,” papar Jimmy.
Senada dengan Jimmy, Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Mirza Satria Buana mengatakan penilaian atas pelaksanaan undang-undang memerlukan tolok ukur atau parameter yang jelas, baik formal maupun materil. Dalam pandangan Mirza, perlu menggunakan pendekatan hukum inter-disipliner, yakni tidak semata-mata berfokus pada teks peraturan melainkan juga konteks pembentukan peraturan serta rasio yang melatarbelakangi dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan.
“Ketika menggunakan pendekatan Post-Legislative Scrutiny (PLS), proses legislasi yang sempurna adalah yang full-cycle to law-making, tidak semata merancang, membahas (memastikan materi taat asas dan kewenangan) dan mengesahkan. Namun, juga melihat bagaimana perundang-undangan dilaksanakan dan dampaknya kepada masyarakat,” papar Mirza.