BPHN.GO.ID – Bekasi. Analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan dilakukan guna mewujudkan penataan hukum Indonesia yang lebih baik. Sebagai langkah menajamkan hasil analisis dan evaluasi tersebut, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (Pusat AE BPHN) menyelenggarakan Konsinyering Penyusunan Rekomendasi Hasil Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional bertempat di Hotel Santika Premier, Bekasi (21/11).
Pada Semester 2 Tahun Anggaran 2022, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN memiliki tiga Pokja yang telah mengidentifikasi isu krusial, diantaranya Pokja Hukum Acara Pidana: Penyidikan dan Penyelidikan, Pokja Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta Pokja Perfilman. Pokja Hukum Acara Pidana: Penyidikan dan Penyelidikan mengidentifikasi isu krusial seperti konsepsi dan proses penyelidikan dan penyidikan, penerapan Restorative Justice serta kedudukan dan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Usia KUHAP juga terbilang sudah cukup lama. Untuk itu perlu dilakukan analisis dan evaluasi untuk mengetahui apakah efektivitas pelaksanaannya masih relevan saat ini. Pojka ini juga ingin coba mengetahui apakah KUHAP masih mampu menjawab permasalahan di masa depan.
Isu lainnya yang dibahas oleh Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum tahun 2022 adalah mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani. Peran petani begitu penting dalam kehidupan kita. Tanpa adanya petani, bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari? Meski demikian, perlindungan terhadap petani dari sisi peraturan perundang-undangan dirasakan masih jauh dari kata ideal.
Isu krusial mengenai perlindungan petani misalnya mengenai kepastian usaha, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa dan asuransi pertanian. Begitu juga dengan pemberdayaan para petani. Petani tentunya perlu penyuluhan dan pendampingan, mulai dari proses bercocok tanam sampai dengan penjualan hasil taninya agar bisa maksimal.
Selain Pokja Hukum Acara Pidana dan Pokja Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pusat AE juga membentuk Pokja Perfilman. Industri ini potensinya begitu tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, namun minim perlindungan hukum. Pokja Perfilman masih menemui isu-isu seperti pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, kurangnya upaya peningkatan pembinaan dan apresiasi bagi ekosistem industri perfilman serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat dalam ekosistem industri perfilman.
Berdasarkan isu-isu yang disebutkan di atas, Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum akan memberikan rekomendasi untuk perbaikan peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Koordinator Kelompok Substansi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Erna Priliasari mengungkapkan bahwa pelaksanaan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan dilakukan untuk mengetahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya.
“Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan juga untuk melihat apakah sebuah peraturan perundang-undangan yang berlaku menimbulkan dampak persoalan (disharmoni) dengan peraturan perundang-undangan lainnya, tidak dapat dilaksanakan, atau terdapat hambatan dalam pelaksanaannya, sehingga secara dini persoalan tersebut dapat segera dicarikan solusinya,” lanjut Erna dalam laporannya.
Sepakat dengan Erna, Kepala Pusat Analisis dan Hukum Nasional Yunan Hilmy menyatakan bahwa Pemerintah menyadari adanya peraturan perundang-undangan yang multitafsir, tumpang tindih, dan kontradiktif antara satu dengan yang lainnya. “Setiap peraturan perundang-undangan yang tidak dapat diimplementasikan secara optimal harus dapat segera diidentifikasi dan direspons secara sistematis melalui serangkaian tahapan dan indikator hingga kemudian bisa diambil keputusan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut efektif sehingga tetap dipertahankan, diubah atau dicabut,” kata Yunan.
Oleh karena itu, lanjut Yunan, quality control perlu menjadi perhatian penting di samping juga mencermati masukan dari para pemangku kepentingan dan masyarakat dengan tetap mendasarkan pada metode dan tools yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. “Muaranya, hasil dari Analisis dan Evaluasi berupa rekomendasi ini dapat berkontribusi pada permasalahan regulasi dari sisi formil dan materiil. Kita harus meningkatkan kerja sama dan koordinasi sinergis agar pelaksanaan evaluasi sebagai bagian dari penataan regulasi ke depan menjadi berhasil dan lebih baik,” ujarnya.
Kegiatan konsinyering ini berlangsung selama tiga hari, yakni dari tanggal 21 s.d 23 November 2022 dan dihadiri sekitar 45 orang peserta dari anggota kelompok kerja yang terdiri dari 14 anggota kelompok pokja eksternal dan 31 anggora kelompok kerja dari internal Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional. Turut hadir dalam acara ini Sekretaris Umum Badan Perfilman Indonesia Clara Sinta Rendra, Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardiyanto, Perwakilan dari Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Perwakilan Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Perwakilan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian serta tamu undangan lainnya. (HUMAS BPHN)
Pada Semester 2 Tahun Anggaran 2022, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN memiliki tiga Pokja yang telah mengidentifikasi isu krusial, diantaranya Pokja Hukum Acara Pidana: Penyidikan dan Penyelidikan, Pokja Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta Pokja Perfilman. Pokja Hukum Acara Pidana: Penyidikan dan Penyelidikan mengidentifikasi isu krusial seperti konsepsi dan proses penyelidikan dan penyidikan, penerapan Restorative Justice serta kedudukan dan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Usia KUHAP juga terbilang sudah cukup lama. Untuk itu perlu dilakukan analisis dan evaluasi untuk mengetahui apakah efektivitas pelaksanaannya masih relevan saat ini. Pojka ini juga ingin coba mengetahui apakah KUHAP masih mampu menjawab permasalahan di masa depan.
Isu lainnya yang dibahas oleh Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum tahun 2022 adalah mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani. Peran petani begitu penting dalam kehidupan kita. Tanpa adanya petani, bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari? Meski demikian, perlindungan terhadap petani dari sisi peraturan perundang-undangan dirasakan masih jauh dari kata ideal.
Isu krusial mengenai perlindungan petani misalnya mengenai kepastian usaha, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa dan asuransi pertanian. Begitu juga dengan pemberdayaan para petani. Petani tentunya perlu penyuluhan dan pendampingan, mulai dari proses bercocok tanam sampai dengan penjualan hasil taninya agar bisa maksimal.
Selain Pokja Hukum Acara Pidana dan Pokja Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pusat AE juga membentuk Pokja Perfilman. Industri ini potensinya begitu tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, namun minim perlindungan hukum. Pokja Perfilman masih menemui isu-isu seperti pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, kurangnya upaya peningkatan pembinaan dan apresiasi bagi ekosistem industri perfilman serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat dalam ekosistem industri perfilman.
Berdasarkan isu-isu yang disebutkan di atas, Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum akan memberikan rekomendasi untuk perbaikan peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Koordinator Kelompok Substansi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Erna Priliasari mengungkapkan bahwa pelaksanaan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan dilakukan untuk mengetahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya.
“Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan juga untuk melihat apakah sebuah peraturan perundang-undangan yang berlaku menimbulkan dampak persoalan (disharmoni) dengan peraturan perundang-undangan lainnya, tidak dapat dilaksanakan, atau terdapat hambatan dalam pelaksanaannya, sehingga secara dini persoalan tersebut dapat segera dicarikan solusinya,” lanjut Erna dalam laporannya.
Sepakat dengan Erna, Kepala Pusat Analisis dan Hukum Nasional Yunan Hilmy menyatakan bahwa Pemerintah menyadari adanya peraturan perundang-undangan yang multitafsir, tumpang tindih, dan kontradiktif antara satu dengan yang lainnya. “Setiap peraturan perundang-undangan yang tidak dapat diimplementasikan secara optimal harus dapat segera diidentifikasi dan direspons secara sistematis melalui serangkaian tahapan dan indikator hingga kemudian bisa diambil keputusan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut efektif sehingga tetap dipertahankan, diubah atau dicabut,” kata Yunan.
Oleh karena itu, lanjut Yunan, quality control perlu menjadi perhatian penting di samping juga mencermati masukan dari para pemangku kepentingan dan masyarakat dengan tetap mendasarkan pada metode dan tools yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. “Muaranya, hasil dari Analisis dan Evaluasi berupa rekomendasi ini dapat berkontribusi pada permasalahan regulasi dari sisi formil dan materiil. Kita harus meningkatkan kerja sama dan koordinasi sinergis agar pelaksanaan evaluasi sebagai bagian dari penataan regulasi ke depan menjadi berhasil dan lebih baik,” ujarnya.
Kegiatan konsinyering ini berlangsung selama tiga hari, yakni dari tanggal 21 s.d 23 November 2022 dan dihadiri sekitar 45 orang peserta dari anggota kelompok kerja yang terdiri dari 14 anggota kelompok pokja eksternal dan 31 anggora kelompok kerja dari internal Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional. Turut hadir dalam acara ini Sekretaris Umum Badan Perfilman Indonesia Clara Sinta Rendra, Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardiyanto, Perwakilan dari Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Perwakilan Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Perwakilan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian serta tamu undangan lainnya. (HUMAS BPHN)