BPHN MENERIMA AUDIENSI APPNIA

Jakarta-BPHN, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum membuka pertemuan dengan Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA) bertempat di Ruang Rapat Lantai 1, Rabu (31/5). Dalam sambutan pembukaannya, Prof. Dr. Enny menyampaikan tusi BPHN secara umum.

Perwakilan dari APPNIA menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan APPNIA adalah terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Label dan Iklan Pangan. RPP tersebut merupakan perintah dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.RPP ini rencananya akan melarang segala bentuk iklan produk makanan yang ditujukan untuk anak berusia kurang dari tiga tahun dan juga produk pangan yang menggunakan nama dagang dan desain yang sama dengan produk tersebut. RPP ini didasarkan pada panduan WHO yang dikeluarkan pada sidang WHA ke 69 tahun 2016 dengan asumsi bahwa pelarangan ini akan meningkatkan pemberian ASI ekslusif pada anak. Namun pada prinsipnya panduan WHO tersebut tidak mengikat dan WHO menyarankan kepada negara anggota untuk mempertimbangkan kondisi domestik maupun peraturan yang berlaku di masing-masing negara. APPNIA menilai ada pasal yang perlu ditinjau ulang yaitu Pasal 80 yang melarang pengiklanan produk pangan untuk anak di bawah usia 2 tahun, termasuk produk susu pertumbuhan untuk anak usia 1-3 tahun. Perwakilan APPNIA menyampaiakn bahwa pelarangan iklan tersebut akan menghilangkan kemungkinan bagi industri untuk berpartisipasi dalam memberikan pendidikan gizi kepada orangtua. Hal itu akan berisiko negatif terhadap status gizi anak-anak Indonesia.

Perwakilan dari BPHN, Arfan Muhlizi, S.H., M.Hum, Kepala Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Pemerintahan, Pusanev, BPHN memberikan tanggapan bahwa salah satu tusi BPHN adalah melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap semua peraturan perundang-undangan (existing law). Dengan adanya analisis dan evaluasi terhadap semua peraturan ini diharapkan akan mengurangi pengujian juducial review. Sementara itu  Ibu Eko Suparmiyati, S.H., M.H, Kepala Bidang Sosial Budaya Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum, BPHN menyampaiakan perlunya data penelitian dan pengkajian untuk menyusun sebuah peraturan. Hal itu dimaksudkan untuk memperkaya substansi dari peraturan tersebut.

                  Lebih lanjut dalam pertemuan tersebut,  Erna Priliasari, S.H., M.H Kepala Bagian Humas, Kerja Sama dan TU, BPHN memberikan tanggapan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik dimungkinkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat terutama dari pihak-pihak yang terkena dampak adanya peraturan.  Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karenanya seharusnya pada waktu penyusunan RPP sejak awal sudah melibatkan stakeholder terkait untuk dapat memberikan pandangannya.  Sedangkan Fabian Adiasta, Perwakilan dari Pusanev, BPHN menyampaikan bahwa guideline dan rekomendasi dari WHA terserbut memang tidak mengikat namun perlu melihat best practices dari negara-negara lain yang telah menerapkan guideline tersebut. (Humas).