BPHN.GO.ID -Jakarta. Bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan Bimbingan Teknis Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Bimtek HA-PUU) bagi Analis Hukum Angkatan Kedua. Sebelumnya, Bimtek HA-PUU Angkatan Pertama dilaksanakan pada Juli yang lalu.
Mewakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Yunan Hilmy dalam sambutannya menyampaikan bahwa JFAH memiliki tugas yang sangat strategis dengan lingkup yang cukup luas. “Tugas JFAH di antaranya yaitu analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, analisis permasalahan hukum yang terkait dengan tugas fungsi Instansi Pemerintah, dan pelaksanaan advokasi hukum,” ujar Yunan.
Peran Analis Hukum, Yunan menambahkan, semakin strategis pasca diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Selain berwenang menganalisis dan mengevaluasi hukum/perundang-undangan yang telah berlaku, melalui ketentuan Pasal 98 Ayat (1a) seorang Analis Hukum dapat pula ikut serta dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Peran yang strategis dan luas ini tentu menuntut penguatan kompetensi bagi seorang Analis Hukum,” ungkap Yunan Hilmy.
Yunan berharap melalui kegiatan Bimtek ini para Analis Hukum akan memiliki pengetahuan, pemahaman dan penguasaan terkait dengan hukum acara pengujian undang-undang yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Terlebih lagi bagi Analis Hukum yang memang memiliki bidang tugas litigasi untuk beracara mewakili instansinya.
Ketua MKRI Anwar Usman dalam sambutannya menekankan beberapa hal penting. Pertama, sejalan dengan kesungguhan negara memberikan jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara, dibentuknya Mahkamah Konstitusi ditujukan untuk mengawal agar hak konstitusional warga negara dapat dijamin pelaksanaannya melalui pembentukan UU, sebagaimana digariskan dalam UUD 1945.
Kedua, paham demokrasi (kedaulatan rakyat) yang dianut saat ini harus berjalan seiring dengan paham nomokrasi (kedaulatan konstitusi) sebagai konsensus norma tertinggi dalam bernegara. Jika lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan secara positif membentuk undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi (yudikatif) memiliki kewenangan secara negatif yaitu membatalkannya, baik secara formil maupun materiil. Mekanisme pengujian undang-undang di MKRI merupakan suatu cara bagi setiap warga negara untuk memproteksi dirinya dari pelanggaran terhadap hak konstitusional, yang mungkin dideritanya, akibat berlakunya suatu UU.
Ketiga, dalam memberikan pelindungan hak konstitusional warga dari berlakunya suatu undang-undang, MK sejak berdirinya telah melakukan banyak langkah melalui putusannya antara lain Putusan Nomor 006 Tahun 2004. Putusan ini membatalkan satu norma dalam UU Nomor 24 Tahun 2023 yang melarang bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Selain itu, terdapat Putusan 003/PUU-I/2003, Putusan 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 yang menyangkut kedudukan hukum pemohon.
“MK juga telah mengembangkan dengan beberapa varian format putusan MK, tidak terbatas berbentuk “tidak dapat diterima”, “ditolak”, dan “dikabulkan”. Selain itu, ditambah dengan putusan MK yang bersifat bersyarat (putusan conditionally constitusional dan conditionally unconstitutional) serta banyak varian lainnya dalam hukum acara pengujian UU termasuk Hukum Acara tentang PUU sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021,” tutup Anwar Usman.
Bimtek ini berlangsung secara daring dari 23 s.d. 26 Agustus 2022. Kegiatan diikuti oleh 376 peserta yang terdiri dari 357 Pejabat Fungsional Analis Hukum (JFAH) dan 19 pejabat struktural terkait. Peserta berasal dari perwakilan 9 Kementerian, 9 Lembaga dan 8 Pemerintah Provinsi. (HUMAS BPHN)
Mewakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Yunan Hilmy dalam sambutannya menyampaikan bahwa JFAH memiliki tugas yang sangat strategis dengan lingkup yang cukup luas. “Tugas JFAH di antaranya yaitu analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, analisis permasalahan hukum yang terkait dengan tugas fungsi Instansi Pemerintah, dan pelaksanaan advokasi hukum,” ujar Yunan.
Peran Analis Hukum, Yunan menambahkan, semakin strategis pasca diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Selain berwenang menganalisis dan mengevaluasi hukum/perundang-undangan yang telah berlaku, melalui ketentuan Pasal 98 Ayat (1a) seorang Analis Hukum dapat pula ikut serta dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Peran yang strategis dan luas ini tentu menuntut penguatan kompetensi bagi seorang Analis Hukum,” ungkap Yunan Hilmy.
Yunan berharap melalui kegiatan Bimtek ini para Analis Hukum akan memiliki pengetahuan, pemahaman dan penguasaan terkait dengan hukum acara pengujian undang-undang yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Terlebih lagi bagi Analis Hukum yang memang memiliki bidang tugas litigasi untuk beracara mewakili instansinya.
Ketua MKRI Anwar Usman dalam sambutannya menekankan beberapa hal penting. Pertama, sejalan dengan kesungguhan negara memberikan jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara, dibentuknya Mahkamah Konstitusi ditujukan untuk mengawal agar hak konstitusional warga negara dapat dijamin pelaksanaannya melalui pembentukan UU, sebagaimana digariskan dalam UUD 1945.
Kedua, paham demokrasi (kedaulatan rakyat) yang dianut saat ini harus berjalan seiring dengan paham nomokrasi (kedaulatan konstitusi) sebagai konsensus norma tertinggi dalam bernegara. Jika lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan secara positif membentuk undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi (yudikatif) memiliki kewenangan secara negatif yaitu membatalkannya, baik secara formil maupun materiil. Mekanisme pengujian undang-undang di MKRI merupakan suatu cara bagi setiap warga negara untuk memproteksi dirinya dari pelanggaran terhadap hak konstitusional, yang mungkin dideritanya, akibat berlakunya suatu UU.
Ketiga, dalam memberikan pelindungan hak konstitusional warga dari berlakunya suatu undang-undang, MK sejak berdirinya telah melakukan banyak langkah melalui putusannya antara lain Putusan Nomor 006 Tahun 2004. Putusan ini membatalkan satu norma dalam UU Nomor 24 Tahun 2023 yang melarang bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Selain itu, terdapat Putusan 003/PUU-I/2003, Putusan 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 yang menyangkut kedudukan hukum pemohon.
“MK juga telah mengembangkan dengan beberapa varian format putusan MK, tidak terbatas berbentuk “tidak dapat diterima”, “ditolak”, dan “dikabulkan”. Selain itu, ditambah dengan putusan MK yang bersifat bersyarat (putusan conditionally constitusional dan conditionally unconstitutional) serta banyak varian lainnya dalam hukum acara pengujian UU termasuk Hukum Acara tentang PUU sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021,” tutup Anwar Usman.
Bimtek ini berlangsung secara daring dari 23 s.d. 26 Agustus 2022. Kegiatan diikuti oleh 376 peserta yang terdiri dari 357 Pejabat Fungsional Analis Hukum (JFAH) dan 19 pejabat struktural terkait. Peserta berasal dari perwakilan 9 Kementerian, 9 Lembaga dan 8 Pemerintah Provinsi. (HUMAS BPHN)