BPHN.GO.ID – Jakarta. Pakar hukum perdata dan acara perdata Indonesia, Sudikno Mertokusumo, pernah menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mencapai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam masyarakat. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujud.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Nur Ichwan, menyampaikan bahwa terdapat berbagai faktor yang menyebabkan kondisi hukum demikian, termasuk aspek substansi hukum positif dan penegakan hukum. Hal itu disampaikannya ketika membuka acara Sosialisasi Rancangan Peraturan Presiden tentang Kepatuhan Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pelaksanaan Hukum (RPerpres Kepatuhan Hukum).
“Substansi hukum positif yang ada masih belum harmonis. Pembentukan hukum positif yang ada terkesan hanya didasarkan pada pertimbangan sesaat dan kurang menyentuh kepentingan masyarakat luas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga ikut memberi andil terhadap wajah hukum kita,” kata Nur Ichwan di Aula Moedjono BPHN, Cililitan, Jakarta Timur, pada Senin (23/09/2024).
Nur Ichwan menambahkan bahwa supremasi hukum hanya dapat ditegakkan oleh individu yang berkualitas dan berintegritas tinggi, namun hal ini harus didukung oleh sistem dan mekanisme yang kuat di setiap lembaga. Hal ini yang mendasari BPHN untuk memprakarsai pembentukan RPerpres Kepatuhan Hukum.
Selain itu, menurut Nur Ichwan, upaya membangun hukum perlu dilakukan secara holistik, meliputi materi hukum, struktur hukum, penegakan hukum dan budaya hukum. Semuanya wajib bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pembangunan hukum bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan pembangunan di bidang lainnya. Hal yang perlu diperhatikan yaitu pembangunan sumber daya manusia di bidang hukum, termasuk para analis hukum di dalamnya,” tambah Nur Ichwan.
Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Madya, R. Septyarto Priandono, mengungkapkan bahwa selama ini tata kelola badan hukum dan badan usaha di Indonesia cenderung diukur dari perspektif kesehatan keuangan saja. Padahal, bisa dilihat juga dari aspek kepatuhan hukumnya melalui audit hukum.
“Audit kepatuhan hukum juga dapat dilakukan terhadap badan publik, termasuk penyelenggara negara di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini dilakukan guna mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) yang menjunjung tinggi nilai demoktratis serta terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ujar Septyarto.
Septyarto juga menyoroti belum adanya peraturan perundang-undangan yang mewajibkan setiap badan usaha, badan hukum, dan badan publik melakukan legal audit secara berkala. Oleh karena itu, RPerpres Kepatuhan Hukum disusun untuk meningkatkan dan mempertahankan reputasi baik, integritas kelembagaan, mencegah terjadinya penyimpangan, dan menentukan area perbaikan untuk kelancaran penyelenggaraan tugas dan fungsi.
Audit hukum tersebut nantinya akan dilakukan oleh analis hukum yang bersertifikat auditor hukum. Perancang peraturan perundang-undangan juga dapat dilibatkan untuk audit hukum pada badan publik. Berdasarkan laporan dari Analis Hukum Ahli Madya BPHN, Apri Listiyanto, jumlah analis hukum saat ini sebanyak 1.706 orang, yang tersebar di kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah.
Apri menyampaikan bahwa analis hukum selaku pejabat fungsional wajib mengembangkan kompetensi secara berkelanjutan, sesuai minat dan kebutuhan pelaksanaan tugas yang diduduki. Ia memaparkan setidaknya ada enam kompetensi teknis yang wajib dimiliki oleh seorang analis hukum.
Keenam kompetensi yang dimaksud antara lain kompetensi teknis analisis dan evaluasi hukum, pengelolaan informasi hukum, analisis dan evaluasi pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pengelolaan pelayanan hukum dan perizinan, pelaksanaan perjanjian instansi pemerintah, dan kompetensi advokasi hukum.
“Keenam kompetensi itu wajib dimiliki oleh analis hukum di mana pun ia bertugas. Tapi, pelaksanaan tugasnya disesuaikan dengan fungsi tempat analis hukum itu bertugas. Itu kata kuncinya,” tegas Apri.
Acara sosialisasi ini juga diikuti secara daring oleh para analis hukum dari seluruh Indonesia melalui aplikasi Zoom dan siaran langsung di YouTube. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat untuk memperkuat dan menambah wawas