BPHN.GO.ID- Jakarta. Pemerintah terus memastikan akses keadilan bagi masyarakat mudah didapatkan, baik melalui program bantuan hukum (legal aid) gratis yang dibiayai pemerintah maupun bantuan hukum cuma-cuma (pro bono) dari profesi advokat. Kedua langkah tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian berupa pemenuhan keadilan. Namun, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM melihat perlunya akselerasi dan optimalisasi dari kedua langkah dimaksud.
“Bagi masyarakat miskin atau kelompok marginal, agar tidak mengalami kesulitan atau dipersulit jika berhadapan dengan hukum, maka perlu diberikan pendampingan hukum. Melalui pendampingan ini, mereka akan mendapatkan putusan yang berkeadilan sebagaimana seharusnya,” kata Sekretaris BPHN Audy Murfi MZ, saat menjadi pembicara kunci pada kegiatan Early Access to Justice in Indonesia: Rights, Roles, and Responsibilities During the Pre-Trial Phases, yang diselenggarakan oleh The International Legal Foundation (ILF), Selasa (26/7) bertempat di Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel, Jakarta Selatan.
Audy melanjutkan konstitusi menjamin bahwa setiap orang berhak diperlakukan sama di hadapan hukum. Saat ini, terdapat dua payung hukum yang menjamin hak individu dalam mendapatkan perlakuan adil, yakni melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Kedua regulasi tersebut sama-sama mengatur, bahwa setiap orang berhak mendapat layanan hukum gratis atau cuma-cuma. Bedanya, khusus pro bono, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi karena hal tersebut berkaitan dengan profesi advokat sebagai officium nobile. “Dalam kenyataannya, tidak cukup banyak advokat yang sungguh-sungguh menangani kasus pro bono,” kata Audy.
Sekalipun pemberian pro bono bagi advokat adalah wajib menurut undang-undang, BPHN Kementerian Hukum dan HAM melihat perlu dioptimalkan kembali pemberian tersebut dikarenakan program bantuan hukum gratis yang dibiayai pemerintah bisa dikatakan belum bisa menjangkau seluruh masyarakat miskin yang membutuhkan sekalipun saat ini sudah terdapat 619 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terakreditasi dan terverifikasi oleh BPHN di seluruh Indonesia dengan anggaran mencapai 55 milyar per tahunnya. Pemerintah menaruh perhatian yang besar tinggi terhadap program bantuan hukum ini sejak tahun 2019 dan menjadi program prioritas pemerintah.
Dikatakan Audy, fokus pemerintah melalui BPHN sejak dua tahun belakangan ini adalah peningkatan kualitas pemberian bantuan hukum gratis kepada masyarakat miskin. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi penyelewengan anggaran ataupun penelantaran penerima bantuan hukum oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Lewat Permenkumham Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum, BPHN melakukan pengawasan dengan ketat atas akuntabilitas pelaksanaan program tersebut. “Bila ada yang main-main, BPHN akan melakukan punishment,” tegas Audy.
“selain itu juga kami akan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Pemberi Bantuan Hukum atau OBH yang dengan serius melakukan pemberian bantuan hukum dengan penghargaan, penambahan anggaran, dan peningkatan akreditasi,” tutup Audy.
“Bagi masyarakat miskin atau kelompok marginal, agar tidak mengalami kesulitan atau dipersulit jika berhadapan dengan hukum, maka perlu diberikan pendampingan hukum. Melalui pendampingan ini, mereka akan mendapatkan putusan yang berkeadilan sebagaimana seharusnya,” kata Sekretaris BPHN Audy Murfi MZ, saat menjadi pembicara kunci pada kegiatan Early Access to Justice in Indonesia: Rights, Roles, and Responsibilities During the Pre-Trial Phases, yang diselenggarakan oleh The International Legal Foundation (ILF), Selasa (26/7) bertempat di Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel, Jakarta Selatan.
Audy melanjutkan konstitusi menjamin bahwa setiap orang berhak diperlakukan sama di hadapan hukum. Saat ini, terdapat dua payung hukum yang menjamin hak individu dalam mendapatkan perlakuan adil, yakni melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Kedua regulasi tersebut sama-sama mengatur, bahwa setiap orang berhak mendapat layanan hukum gratis atau cuma-cuma. Bedanya, khusus pro bono, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi karena hal tersebut berkaitan dengan profesi advokat sebagai officium nobile. “Dalam kenyataannya, tidak cukup banyak advokat yang sungguh-sungguh menangani kasus pro bono,” kata Audy.
Sekalipun pemberian pro bono bagi advokat adalah wajib menurut undang-undang, BPHN Kementerian Hukum dan HAM melihat perlu dioptimalkan kembali pemberian tersebut dikarenakan program bantuan hukum gratis yang dibiayai pemerintah bisa dikatakan belum bisa menjangkau seluruh masyarakat miskin yang membutuhkan sekalipun saat ini sudah terdapat 619 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terakreditasi dan terverifikasi oleh BPHN di seluruh Indonesia dengan anggaran mencapai 55 milyar per tahunnya. Pemerintah menaruh perhatian yang besar tinggi terhadap program bantuan hukum ini sejak tahun 2019 dan menjadi program prioritas pemerintah.
Dikatakan Audy, fokus pemerintah melalui BPHN sejak dua tahun belakangan ini adalah peningkatan kualitas pemberian bantuan hukum gratis kepada masyarakat miskin. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi penyelewengan anggaran ataupun penelantaran penerima bantuan hukum oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Lewat Permenkumham Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum, BPHN melakukan pengawasan dengan ketat atas akuntabilitas pelaksanaan program tersebut. “Bila ada yang main-main, BPHN akan melakukan punishment,” tegas Audy.
“selain itu juga kami akan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Pemberi Bantuan Hukum atau OBH yang dengan serius melakukan pemberian bantuan hukum dengan penghargaan, penambahan anggaran, dan peningkatan akreditasi,” tutup Audy.