BPHN.GO.ID – Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menerima kunjungan dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Senin (05/02/2024). Kedatangan IJRS kali ini dalam rangka tindak lanjut dan diskusi terkait usulan anggaran bantuan hukum bersama Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum BPHN.
Kepala Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum BPHN, Sofyan, menjelaskan bahwa pendanaan atau anggaran merupakan titik sentral pelaksanaan bantuan hukum. Pemerintah setiap tahunnya mengalokasikan anggaran bantuan hukum untuk orang miskin yang dibebankan kepada APBN.
“Anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk bantuan hukum cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun, peningkatan ini nyatanya masih belum dapat secara proporsional meng-cover biaya di lapangan secara riil. Terlebih lagi dengan luasnya wilayah geografis Indonesia,” ungkap Sofyan dalam kegiatan yang berlangsung di Ruang Rapat Pusbudbankum BPHN, Cililitan, Jakarta Timur.
Sofyan mencatat bahwa anggaran bantuan hukum pada tahun 2017 sebesar Rp 41,1 miliar. Anggaran ini meningkat jadi Rp 51,1 miliar di tahun 2019 dan Rp 56,3 miliar di tahun 2023 silam. Meski meningkat tiap tahunnya, Sofyan menyadari bahwa besaran biaya bantuan hukum tersebut, baik litigasi dan nonlitigasi, belum memperhitungkan biaya operasional yang timbul dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum (PBH).
“Oleh karena itu perlu dilakukan kajian secara komprehensif terkait besaran anggaran ideal dalam pemberian bantuan hukum, termasuk perlunya menghitung biaya riil yang dibutuhkan dalam rangka peningkatan kualitas layanan bantuan hukum yang akan diberikan kepada PBH,” tambah Sofyan.
Sekretaris BPHN I Gusti Putu Milawati menyampaikan bahwa perlu dilakukan reformulasi terkait kenaikan anggaran bantuan hukum. Namun hal tersebut harus dikoordinasikan oleh berbagai pihak terlebih dahulu, termasuk dengan Biro Perencanaan dan Biro Keuangan Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM.
Plt. Direktur Eksekutif IJRS, Adery Ardhan Saputro, mengungkapkan bahwa Kemenkumham melalui BPHN dapat melakukan perluasan dan penguatan komponen biaya untuk bantuan hukum dengan disesuaikan atas kebutuhan di lapangan. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan IJRS, ditemukan beberapa komponen yang belum ada penganggarannya, namun dibutuhkan dalam pelaksanaan bantuan hukum.
“Contoh komponen yang belum ditemukan penganggarannya antara lain dukungan sumber daya dalam penyusunan laporan dan biaya operasion seperti biaya sewa kantor, listrik, materai, dan lain-lain,” jelas Adery.
Skema pembiayaan bantuan hukum saat ini, lanjut Adery, cenderung mengedepankan litigasi dengan alokasi biaya yang lebih besar dibandingkan nonlitigasi. Padahal, mayoritas pencari keadilan lebih membutuhkan informasi dan konsultasi terhadap penyelesaian masalah hukumnya, sehingga anggaran yang lebih dibutuhkan adalah anggaran nonlitigasi.
“BPHN juga diharapkan memperkuat kebutuhan anggaran untuk bantuan hukum nonlitigasi terkait pemberdayaan hukum masyarakat. Kegiatan itu harus dilakukan terus menerus dan lebih luas lagi, tidak sekadar penyampaian satu arah,” tambahnya.
Adery juga mengungkapkan bahwa jika melihat temuan dalam pengukuran Indeks Akses terhadap Keadilan Tahun 2021 bahwa secara riil, satu perkara rata-rata memiliki pagu Rp3.468.635, sedangkan standar anggaran bantuan hukum idealnya adalah berada pada angka Rp 14.680.000. Hal ini menunjukkan perlunya asesmen lebih mendetail terkait besaran anggaran yang layak untuk PBH.
Kegiatan ini turut dihadiri oleh Kepala Bagian Program dan Pelaporan BPHN, Bintang Oktafiyanti Subekti, perwakilan tim IJRS, serta perwakilan pegawai BPHN. (HUMAS BPHN)