Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dr. Wicipto Setiadi, SH., MH merasa prihatin dengan banyaknya perda yang dibatalkan. Demikian beliau ucapkan pada pembukaan Forum Komunikasi Regulasi Daerah di Surabaya, Rabu (22/6). Keprihatinan Wicipto terkait adanya ribuan perda bermasalah ditingkat pusat, sebuah hasil penelitian dan pengkajian menunjukkan bahwa di Bapenas terindikasi ada + 3000 perda tidak ramah ekonomi, di Kementrian Keuangan ada 3000 lebih perda bermasalahan serta dari KPPOG juga menunjukan diatas 3000 perda dengan posisi yang sama. Persoalan perda bukan saja ada di daerah tapi ditingkat pusatpun tidak jauh berbeda. Salah satu dari permasalahan ini adalah subtansi hukum. Menurutnya subtansi hukum adalah salah satu terkait dengan regulasi di tingkat daerah, dimana regulasi saat ini ada ketidak sinkronan dan ketidak harmonisan. Katanya. Hal ini tidak hanya terjadi didaerah saja tapi dipusat juga demikian. Tambahnya. Kondisi inilah yang membuat kami prihatinan dan berkomitmen mewujudkan penyusunan, prolegda yang terencana terpadu dan systematis untuk mendukung penyusunan perda berkualitas. Jika sudah melalui program-program dengan terencana, terpadu dan sistematis mudah-mudahan dimasa yang datang tidak ada lagi perda-perda yang bermasalah atau sekiranya dapat diminimalisasir perda bermasalah tersebut. Harapnya. Sementara adanya persoalan perda yang dibatalkan, bukanlah kesalahan daerah, namun ada persoalan lain. Pembatalan perda bukanlah hanya tertumpu pada daerah, tapi pusat juga bertanggungjawab pada persoalan itu. Untuk itu kita harus melakukan intropeksi, evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang disusun, jangan sampai ada saling menyalahkan. Marilah kita duduk bersama-sama untuk mengevaluasi mana yang kurang baik, mana yang tidak benar dan mana yang harus kita ikuti untuk melakukan perbaikan dan sebagainya. Jika dikaji salah satu menjadi pertimbangan dan kebijakan bersama, adalah perencanaan pembentukan perda. Perencanaan ini merupakan instrumen awal yang sangat penting, apalagi teknis penyusunan dan pengelolaan perda belum jelas. Lain halnya ditingkat pusat, yakni tersusunnya prolegnas, melalui prolegnas maka dapat dibedakan yang mana prolegnas dan prolegda. Oleh karena itu yg penting, jangan sampai diprolegnas tidak pas tapi dipaksakan untuk kondisi daerah. Forum inilah yang akan menjembatani agar perda itu bisa lebih baik sementara BPHN selaku instansi pemerintah mempunyai kewajiban dan beban moral untuk melakukan pembinaan hal-hal seperti itu. Juga pemda kiranya dapat bekerjasama dengan kanwil Kemenkum dan HAM setempat, dan kanwil sendiri harus terus meningkatkan SDM-nya. Lebih lanjut kepala BPHN menjelaskan pada peserta yang terdiri dari para divisi hukum dari kanwil Kemenkum dan HAM juga para kepala biro dari pemda, bahwa untuk tingkat subtansi memang tidak mudah, kadang sesuatu yang sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR namun ada pihak atau kelompok yang kurang setuju ditingkat pusat. Contohnya RUU tentang Mahkamah Kontitusi, baru disahkan DPR, dibeberapa media sudah diributkan bahwa ada beberapa kelompok akan melakukan yudicial reiview ke MK, hal ini tidak mungkin kita hindari. Pada tahapan inilah kita sebagai orang yang terlibat langsung dalam rancangan dapat mengarahkan mau dibawa kemana perundang-undangan tersebut. Dan saat ini Kemendagri telah mengeluarkan permandagri, namun menurut pandangan kami permendagri tersebut juga masih perlu diluruskan atau diperbaiki sama seperti halnya UU No. 10 thn 2004. Oleh karena itu maka RUU ttg Peraturan Perundang-undangan menjadi prioritas mudah-mudahan tidak lama lagi disahkan. Sementara melalui forum ini kiranya bisa saling sinergi, saling kerjasama dengan harapan keberadaan Kanwil Kemenkum dan HAM dengan Pemda menjadi mudah dalam melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah serta membuahkan hasil-hasil yang diharapkan bersama yaitu untuk mewujudkan penyusunan legislasi daerah dalam pembentukan perda yang berkualitas. BPHN akan terus mendorong agar pembentukan peraturan perundang-undangan ini menjadi peraturan perundang-undangan yang berkualitas. Ucap Kepala BPHN dalam mengakhiri sambutannya.
Menurut ketua penyelenggara Sularto mengatakan bahwa Otda merupakan operasionalisasi atas desentralisasi yang menyerahkan wewenang pemerintahan dari pemerintah kepada daerah otonom. Penyerahan wewenang tersebut merupakan wujud dari pelaksanaan pembagian urusan pemerintahan atas pemerintah pusat dengan daerah. Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pelaksanaannya Otda berdasarkan 2 prinsip utama yakni Otonomi yang seluas-luasnya dan Otonomi nyata dan bertanggungjawab. Ungkap Sularto. Pelaksanaan Otda secara kontitusional [Psl 18 (6) UUD 1945] memberikan hak daerah untuk menetapkan daerah dan menetapkan perda serta peraturan-peraturan yg lain. Hak kontitusinal tersebut dijabarkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan otda, “Perda dibentuk dalam rangka pelaksanaan otda Propinsi, Kabupaten/Kota dan Tugas Pembantuan [psl 136 (2) UU No 32 thn 2004]. Mengingat fungsi perda sangat penting dalam pelaksanaan maka pembentukan perda harus dilakukan secara cermat, tepat isi dan tepat presedur. Jelasnya. Lebih lanjut menurut Ketua penyelenggara mengatakan prosedur tersebut dimulai dari perencanaan hingga penyusunannya. Dan penyusunan perda itupun harus sesuai dengan bingkai kebijakan pembangunan hukum nasional, artinya pada tahap perencanaan perda harus tertuang dalam legislasi daerah, sesuai dengan pasal 15 (2) UU 10 thn 2004, yang menjadi pengikat bagi eksekutif, legislatif serta menjadi wadah penyelaras kerangka regulasi yg mendukung prioritas pembangunan. Selain itu penyusunan prolegda juga dimaksudkan untuk memberikan gambaran obyektif mengenai kebutuhan peraturan sesuai kebutuhan masyarakat. Sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk perda serta mempercepat proses pembentukannya dengan memfokuskan pada skala prioritas yang ditetapkan dan menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukannya, menjaga perda yang dibentuk tetap dalam kesatuan system hukum nasional serta menertibkan perda agar sesuai kebutuhan bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Harapan penyelenggara dengan terkait kegiatan ini semoga membawa kinerja yang sinergis antara dewan daerah, pemda, para kanwil Kemenkumham, serta para pihak yang terkait legislasi daerah.
Sebagai ilustrasi dalam kegiatan ini, bahwa Surabaya yang lazim dengan sebutan kota pahlawan, sementara kegiatan inipun berlangsung dalam gedung yang menjadi saksi bisu perjuangan. Saat itu terjadi pergolakan dalam pencapaian kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gedung itu bernama gedung Oranye, berubah nama menjadi Yamato dan kini menjadi Majapahit. Perobekan bendera Belanda terjadi di tempat ini sehingga berkibarlah sangsaka Merah Putih diangkasa. Kobaran semangat rakyat saat itu bersatu dan menyatu dan berkobar guna mencapai satu cita. Dimensi perjuangan ini, diharapkan menjadi pendorong bagi pembentukan peraturan-peraturan, penyusunannya sehingga terciptalah perda-perda yang berkualitas. *HUMAS BPHN