Jakarta, WARTA-bphn
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Enny Nurbaningsih walau telah menyandang Wakil Ketua pada Panitia Seleksi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, bukan berarti harus melalaikan tugas lama sebagai kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Hal ini dapat diyakini saat beliau membuka forum grup diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional – Badan Pembinaan Hukum Nasional, dengan mengangkat tema “ Urgensi Pembentukan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)”, Senin (25/5).
Dalam sambutannya Enny mengatakan bahwa dalam pemerintahan Jokowi-JK berjanji akan menyelesaikan persoalan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu (Nawacita) dan sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia secara berkeadilan. Dan yang menjadi permalahan dalam mewujudkan janji politik tersebut karena belum tersedianya UU KKR sebagai landasan.
Dan hari ini telah hadir tiga pakar hukum yang berkompeten yaitu Harkristuti Hakrisnowo, Ifdhal Kasim, dan Hafid Abbas, diharapkan kehadiran ketiga narasumber tersebut dapat memberi pengkayaan terkait dengan Naskah Akademik tentang Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) yang akan kita dibahas bersama kedepannya sehubungan ada kaitannya dengan program Nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Marilah kita sama-sama mendengarkan presentasi yang akan disampaikan oleh narasumber, kata Enny.
Harkristuti Harkrisnowo dalam presentasinya menjelaskan Transitional justice bukanlah bentuk peradilan khusus dan tertentu, akan tetapi konsep keadilan yang diadaptasi pada masyarakat yang tengah melakukan transformasi diri, setelah melampaui suatu masa/rejim dimana pelanggaran HAM sangat banyak terjadi.
Dan tujuan utama dari Transitional justice adalah untuk mencari kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi dalam upaya untuk menegakkan kembali hukum dan HAM serta membangun kembali pranata publik yang akuntabel; membangun kembali sistem negara secara keseluruhan.
Selanjutnya beliau mengatakan juga bahwa komisi kebenaran mempunyai tujuan utama untuk melakukan investigasi dan menyusun laporan mengenai pelanggaran HAM masa lalu pada titik waktu tertentu, adapun bagian dari mekanisme Transitional Justice untuk menjawab pertanyaan mengapa peristiwa tersebut terjadi dan Peristiwa apa yang terjadi sekaligus membuat masyarakat memahami dan mengakui suatu peristiwa masa lalu yang acap diingkari serta memunculkan ‘suara dan cerita’ para korban yang selama ini tidak diketahui publik sehingga negara dapat menyusun rekomendasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta pencegahan terjadinya kembali (recurrence). Lain halnya terkait dengan rekonsiliasi yaitu tidak ada kesamaan pandang mengenai makna "reconciliation", akan tetapi jelas bahwa Rekonsiliasi merupakan suatu proses yang terjadi bukan pada tingkat individual, akan tetapi pada lingkup kolektivitas. Maka rekonsiliasi diharapkan mewujudkan Trust antara para pihak, komitmen para pihak atas nilai dan norma bersama, bukan hanya yang bersifat 'horizontal (antar warga) tapi juga yang bersifat vertikal (antara warga dan pranata negara).
Begitu yang disampaikan oleh Ifdhal Kasim, dalam masa transisi politik dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang demokratis, suatu negara sering berhadapan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada rezim sebelumnya. Dalam menghadapi masa transisi politik, maka negara sering memerlukan mekanisme yang berbeda dari yang umumnya dilakukan yang dibutuhkan bukan saja menghukum pelaku dan memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga mereformasi sistem yang pro-hak asasi manusia.
Dengan munculnya gagasan mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1998, kemudian dituangkan ke dalam TAP MPR No. V/2000 dan telah diundangkannya ke dalam UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta putusan Mahkamah Konstitusi No:006/PUU-IV/2006 yang isinya membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsialiasi. Juga rekomendasi Mahkamah Konstitusi mensyaratkan untuk mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal dan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Sementara Hafid Abbas, mengapresiasi prakarsa BPHN menyelenggarakan Focus Group Discussion tentang Urgensi Pembentukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-undang KKR tersebut.
Urgensi tersebut menurut Hafid Abbas mencakup hal, yaitu: Pertama, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU KKR No 27/2004, melalui Keppres No 7/2005, tentang panitia Seleksi Anggota KKR, 28 Maret 2005; Kedua, pada 11 September 2006, sejumlah LSM mengajukan permohonan pengujian UU KKR No 27/2004 terhadap UUD 1945; Ketiga, MK pada sidang pleno 7 Desember 2006 yang memutuskan: (i) mengabulkan permohonan para pemohon, (ii) menyatakan UU KKR No 27/2004 bertentangan dengan UUD 1945, (iii) menyatakan UU KKR No 27/2004 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan (iv) memerintahkan pemuatan putusan tersebut dalam Berita Negara RI sebagaimana mestinya. Keempat, dengan keluarnya keputusan MK tersebut maka seluruh proses yang sudah berjalan selama ini menuju terbentuknya KKR menjadi sirna. Ini tidak berarti bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui rekonsiliasi juga sirna. Banyak cara yang dapat ditempuh antara lain sebagaimana disarankan oleh MK mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945, misalnya
Perpu dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum, misalnya pada kasus Aceh. Kelima, Upaya menyelesaikan masalah bangsa masa lalu sekaligus mendorong rekonsiliasi bangsa.
Berkaitan dengan penyelesaian politik dan hukum ini, tuntutan rehabilitasi
sebaiknya dipertimbangkan secara mendalam dampak politik dan ekonomi bagi bangsa, jelas Hafid Abbas.
Forum grup diskusi yang digelar dari pkl. 09.30 WIB oleh Pusrenbangkumnas – BPHN, dengan tema “ Urgensi Pembentukan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dihadiri lebih dari 50 perserta, terdiri KOMNAS HAM, TNI, POLHUKAM, serta beberapa undangan baik dari SLM maupun K/L ditutup dengan sesi diskusi hingga pkl. 14.00 WIB. *tatungoneal