BPHN – Jakarta. Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama atau berinteraksi dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam suatu ikatan perkawinan. Setiap manusia Indonesia yang menganut ideologi Pancasila dalam mengembangkan keturunannya tentu harus melalui proses ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan tersebut bisa berbentuk perkawinan campuran karena berbeda kewarganegaraan.

 

5 September yang lalu Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM mensosialisasikan tentang Problematika Perkawinan Campuran kepada Wanita Katolik Republik Indonesia di Gereja Katolik Keluarga Kudus Pasar Minggu Jakarta Selatan oleh Penyuluh Hukum Ahli Madya Jawardi, S.H., M.H.

 

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air. Globalisasi informasi, ekonomi, dan pendidikan telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Banyak juga perkawinan campuran terjadi memang suka sama suka berlandasan cinta tanpa melihat latar belakang ekonomi dan pendidikannya. Dengan banyaknya terjadi perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.

 

Jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pada pasal 57 dan 58 yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Sedangkan bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

 

Ada dua masalah yang dihadapi perempuan Indonesia dalam masalah kawin campur. Pertama, tentang hak kewarganegaraan anaknya dan kedua perlunya kemudahan untuk mensponsori suaminya jika ingin tinggal di Indonesia. Soal kewarganegaraan anak, selama ini selalu ikut kepada sang bapak. Jawardi pun mengatakan “Harusnya anak bisa diberi peluang untuk memiliki kewarganegaraan ganda sampai umur 18 tahun sebelum akhirnya dia bisa memutuskan kewarganegaraannya,”

 

Jawardi selaku narasumber berharap agar kedepannya tidak ada permasalahan besar yang terjadi di Pasar Minggu ini dalam perkawinan campuran. Karena salah satu masalah terbesar dari perkawinan campur adalah tidak adanya wewenang seorang ibu atas hak kewarganegaraan anaknya,” ungkapnya. Badan Pembinaan Hukum Nasional melalui Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum pun siap memberikan penyuluhan, dan konsultasi hukum bagi masyarakat yang ingin menanyakan secara langsung terkait permasalahan hukumnya. (RSH/RA)