SPHN 2019: Perlu Langkah Konkret Pemberdayaan Hukum Tidak Tertulis Dalam Pembangunan Hukum Nasional

 

Jakarta, BPHN.go.idHukum tidak tertulis yang mempunyai akar dari budaya bangsa mempunyai potensi yang kuat dalam mewujudkan perasaan hukum yang nyata dan hidup di kalangan rakyat Indonesia. Keberadaan hukum tidak tertulis (yang dalam ini adalah hukum adat) tidak cukup hanya sampai pada makna pengakuan saja, namun perlu dilestarikan dan diberdayagunakan.

Demikian salah satu kesimpulan Seminar Pembangunan Hukum Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta, Kamis (25/6/19). Seminar yang mengangkat Tema Pemberdayaan Hukum Tidak Tertulis Dalam Grand Design Pembangunan Hukum Nasional” ini dibuka oleh Kepala BPHN Prof. Dr. H.R. Benny Riyanto, S.H., M.Hum., CN.

Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan dalam upaya pemberdayaan hukum tidak tertulis adalah dengan memasukan hukum tidak tertulis sebagai bagian pertimbangan di dalam pembentukan hukum nasional dan hal ini perlu menjadi bagian substansi pembahasan di dalam perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Seminar Pembangunan Hukum Nasional ini disambut antusias oleh para peserta dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi penyusunan Grand Design Pembangunan Hukum Nasional yang sedang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Kepala BPHN Prof. R Benny Riyanto mengatakan, pemerintah dan DPR RI perlu menempatkan hukum tidak tertulis ke dalam kontestasi hukum nasional dengan tujuan mempertahankan identitas bangsa Indonesia di tengah arus hukum global yang muncul dan mempengaruhi sistem hukum nasional. Tesis itu pula yang melatarbelakangi BPHN menggelar Seminar Pembangunan Hukum Nasional (SPHN) 2019 dengan mengangkat tema: “Pemberdayaan Hukum Tidak Tertulis dalam Grand Design Pembangunan Hukum Nasional”.

Di tempat yang sama, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Liestiarini Wulandari mengatakan, SPHN 2019 berusaha menjawab diskursus mengenai hukum tidak tertulis itu dengan melibatkan pakar di bidangnya. Sebagai pemantik diskusi, BPHN menghadirkan Prof I Nyoman Nurjaya (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), Prof Ade Saptomo (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila), dan Dr Sukirno (Dosen Hukum Adat dan Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro). Beberapa tamu undangan mulai dari akademisi, LSM, serta praktisi diharapkan akan memperkaya diskursus tersebut. “Bekerjanya hukum tidak tertulis terhadap pembinaan hukum adalah sebagai sumber bagi pembentukan hukum tertulis. Sedang dalam praktek peradilan, bekerjanya hukum tidak tertulis ini menjadi sumber pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam kewenangannya sebagai rechtsvinding,” kata Lies.

Dalam sesi diskusi Prof. Ade Saptomo mengutarakan bahwa pembangunan hukum nasional harus memberikan tempat yang jelas bagi terakomodirnya asas-asas/prinsip-prinsip hukum lokal masyarakat Indonesia, dengan memasukannya dalam norma pengaturan peraturan perundang-undangan. Konsekwensi lebih lanjut, tentunya dengan memberikan bekal pengetahuan yang memadai kepada para analis hukum dan perancang peraturan perundang-undangan, khususnya mengenai metode normative induktif. Hal ini sebangun dengan bekerjanya hukum tidak tertulis pada ranah peradilan, yang secara tegas telah dituangkan dalam Undang-Undang Kekuasan Kehakiman.

Sejalan dengan hal tersebut Prof. I Nyoman Nurjaya berpendapat bahwa pembangunan hukum nasional yang berkarakter Indonesia dilakukan dengan meresepsi hukum adat dan hukum agama. Namun perlu diingat bahwa pemberdayaan hukum adat tersebut dilakukan terhadap prinsip dan asas-asas nya, bukan normanya, dengan demikian hukum negara dan hukum adat dapat hidup berdampingan, saling melengkapi, saling mendukung, tidak mendominasi, dan tidak mensubordinasi satu sama lain.

Sedangkan Dr. Sukirno menyampaikan pemikiran tentang hakikat pemberdayaan hukum tak tertulis yang hanya dapat dilakukan apabila pembatasan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hukum adat atau masyarakat hukum adat tersebut tidak berlebihan, yaitu hanya didasarkan atas: benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat hukum adat, memenuhi rasa keadilan, ditaati masyarakat, dan tidak melanggar hak asasi pihak lain.  Dewasa ini, upaya memberdayakan hukum tidak tertulis bisa dilihat dalam revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Terlepas ada yang pro dan kontra mengenai kehadiran Pasal 2 RUU KUHP ini, semangat konseptor RUU KUHP patut dihargai karena mengakomodir masih adanya hukum pidana yang hidup di masyarakat, setelah dihapusnya Peradilan Adat dengan UU No.1/Drt/1951,” kata Sukirno. (Pusanev)