Bertempat di Graha Pengayoman pada tanggal 12 Mei 2004 Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman dan HAM menyelenggarakan acara Sosialisasi Gratifikasi Berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diikuti oleh 308 orang peserta terdiri dari pejabat Eselon I, II, III, Auditor, Pimpro dan Pimbagpro serta Bendaharawan baik proyek maupun rutin yang bekerja sama dengan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).
Menurut Dr. SATYA ARINANTO, rumusan tentang pemberantasan KPK ternyata merupakan bagian dari agenda pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Korupsi (anti korupsi), sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971 (UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), bila KPK ini terbentuk tidaklah mengherankan kalau Indonesia akan dikenal sebagai Negara Komisi, sebab begitu banyaknya komisi yang telah dibentuk pemerintah untuk menangani suatu masalah, misalnya Komnas HAM, KPKPN dan KPU Seorang pejabat tinggi di Sekretariat Negara (Sekneg) pernah menyatakan, arah pembentukan komisi-komisi di Indonesia sebetulnya bertujuan untuk mengurus dokumen. Jika dicermati lebih jauh, ternyata yang dimaksud dengan Dokumen itu bukan dokumen dalam arti sebenarnya tetapi meminta uang (Doku = uang dan Men = orang, pak). Munculnya silnyalemen ini tidak bisa disalahkan bila terjadi di Indonesia, sebab korupsi di sini telah begitu membudaya. Dengan begitu banyak dan kompleksnya permasalahan yang terjadi di Indonesia, entah komisi apalagi yang akan dibentuk dan yang pasti semakin banyak komisi-komisi bermunculan akan membuat senang bagi yang menerima, karena dengan komisi akan membuat segala permasalahan menjadi selesai dan tuntas.
Sosialisasi Gratifikasi dibuka dan dipandu langsung oleh Bapak Inspektur Jenderal yang didampingi Bapak Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman dan HAM, dan sebagai penceramah/ narasumber Wakil Ketua KPK (Bapak Dr. Sjachruddin Rasul), antara lain mengemukakan :
- Pengertian gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah Pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi penjaminan tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
- Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan cara : a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
b. Formulir sebagaimana dimaksud pada butir (a) sekurang-kurangnya memuat :
Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; Uraian jenis gratifikasi yang diterima; Nilai gratifikasi yang diterima;
c. Waktu laporan dan penentuan status gratifikasi Dalam waktu 30 hari kerja sejak diterimanya gratifikasi, si penerima melaporkan secara tertulis kepada KPK.
Dalam waktu 30 hari kerja KPK akan : memproses penetapan status, memanggil penerima gratifikasi, melakukan penelitian gratifikasi dan menentukan status gratifikasi.
Dalam jangka waktu 7 hari sejak ditetapkan statusnya, gratifikasi dapat diserahkan kepada Menteri Keuangan sebagai penerimaan negara atau diserahkan kepada penerima gratifikasi.
Oleh karena pengertian Gratifikasi menurut UU No. 20 tahun 2001 yang pada intinya pemberian dalam arti luas, Direktur Jenderal Penyusunan Perundangundangan (Bapak Prof. Abdul Gani) menjelaskan latar belakang istilah gratifikasi sebagai berikut :
Pada awalnya Indonesia tidak mengenal istilah gratifikasi, namun soal saling memberi di Indonesia hampir senilai atau sama dengan 80 % dari jumlah anggaran APBN, pada zaman orde baru pembangunan fisik lebih ditekan pada target bukan nilai bangunan fisiknya, sistim mengejar target ini berpeluang timbulnya gratifikasi sebab tidak lagi memperhatikan kualitas bangunan yang dihasilkan, akan tetapi yang terpenting target untuk membuat bangunan dalam jangka waktu tertentu telah tercapai, dengan kata lain lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, yang berdampak untuk mencapai kualitas yang diinginkan akan terabaikan dan akan dimanipulasi dengan gratifikasi, oleh karena itu gratifikasi diberi makna yang lebih luas. Masalah saling memberi sudah menjadi kebiasaan orang timur, Inspektur Jenderal Departemen Kehakiman dan HAM (Bapak Koeslan Reksodirdjo, SH) menanyakan apakah pemberian parcel, kado, hadiah ulang tahun termasuk dalam kategori gratifikasi.
Menanggapi pertanyaan tersebut Prof. Abdul Gani mengatakan masalah hukum harus mempunyai logika hukum dan Dr. Sjachruddin Rosul menambahkan pada hakekatnya gratifikasi adalah segala sesuatu pemberian yang membuat kita tidak bisa tidur, dengan demikian apabila kita menerima sesuatu yang membuat kita deg-degan, stres dan terpikir terus-menerus, maka dalam jangka 30 hari kerja harus mengisi formulir dan melaporkan kepada KPK.
Di samping itu Prof. Abdul Gani menjelaskan gratifikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Tupoksi dapat mengakibatkan terjadinya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), diumpamakan adanya orang-orang yang masuk daftar cekal yang akan menyuap petugas imigrasi agar dapat keluar dari wilayah Republik Indonesia. Sudah begitu banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi dan gratifikasi, dari mulai pembentukan peraturan perundang-undangan sampai dengan pembentukan lembaga-lembaga yang mempunyai tugas di bidang pemberantasan korupsi, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat bahwa di Indonesia banyak terjadi korupsi dan gratifikasi, baik di kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Begitu banyak pejabat yang hidupnya mewah mempunyai harta berlimpah dan kekayaan yang besar, mereka acuh tidak mau melaporkan hasil korupsi dan gratifikasi yang diterimanya, oleh karena mereka tidak deg-degan, tidak stres dan bahkan dapat tidur dengan nyenyak di rumah-rumah mewah dan di hotel-hotel berbintang, di samping itu KPK juga tidak dapat berbuat apa-apa tertegun, takjub dan tidak berdaya, entah komisi apalagi yang akan dibentuk dan mempunyai nasib yang sama dengan komisi-komisi yang terdahulu.