Demikian kesimpulan forum Diskusi Diseminasi Informasi tentang Kebijakan Anti Pornografi dan Pornoaksi yang berlangsung di Hotel Bidakara Jakarta tanggal 29 April 2004, yang dihadiri oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), unsur-unsur perguruan tinggi, pers dan kalangan pemerintah. Adapun tujuan diselenggarakan forum ini dengan maksud untuk menyikapi maraknya diseminasi informasi tentang pornografi dan pornoaksi melalui media massa serta dalam rangka menyongsong dibahasnya Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.

Selama diskusi berlangsung ada beberapa hal yang dipermasalahkan oleh peserta diskusi antara lain bahwa masih terdapat perbedaan tentang terminologi/pengertian pornografi dan pornoaksi dan untuk menghindari multi interpretasi atau multi tafsir PWI sudah membuat tafsir pasal kode etik jurnalistik, misalnya perbuatan cabul diberi penafsiran sebagai melukai perasaan susila dan berselera rendah. Tetapi penafsiran ini belum menuntaskan persoalan karena penafsiran tersebut tidak berhasil memberi batasan atau defenisi serta patokan atau acuan yang baku mengenai mana yang dikategorikan sebagai cabul dan yang tidak. Sampai sekarang di kalangan masyarakat pers belum ada kesamaan pendapat mengenai kriteria yang dianggap melukai perasaan susila dan berselera rendah. Disamping itu pornografi dan pornoaksi dalam media massa akhir-akhir ini semakin marak. Kenyataan ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor dominan adalah ketidakberdayaan pemerintah, khususnya aparat penegak hukum belum mampu membendungnya.

Faktor bisnis juga memainkan peran penting, sulit untuk memberantas pornografi. Bukan rahasia lagi bahwa pornografi dimana-mana merupakan suatu hal yang membawa keuntungan sangat besar. Pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis tidak mustahil senantiasa akan melawan segala upaya darimana pun datangnya untuk membendung pornografi.

Upaya membendung atau memberantas pornografi di Indonesia selama ini memang mengalami pasang surut. Tidak sedikit masyarakat kita yang rupanya berpendapat bahwa pornografi bukanlah masalah sosial yang harus diprihatinkan. Mereka bahkan cenderung membeberkan efek positif dari pornografi. Pornografi memang memiliki nilai positif, terutama sebagai shock therapy bagi pasangan yang sudah menikah. Namun, efek negatif dari pornografi, menurut penelitian yang banyak dilakukan di negara-negara barat sendiri, jauh lebih besar dibandingkan sisi positifnya. Pornografi jika dikonsumsi secara berlebihan akan menimbulkan berbagai masalah sosial, psikologis dari perilaku individu, yang pada akhirnya akan merusak moralitas. Oleh sebab itu, upaya membendung/memberantas pornografi tidak boleh berhenti. Jika pornografi dibiarkan lepas kendali, Indonesia suatu saat akan menjadi permissive state, yaitu suatu negara yang membolehkan kebebasan optimal dalam hal aktifitas seksual. Jelas, situasi sosial ini akan memberikan sendi-sendi beragama bangsa kita.

Agar tidak terjadi penyimpangan moral bangsa Indonesia, khususnya generasi muda maka forum mengharapkan segera menghindar dari hal-hal yang bersifat pornografi dan pornoaksi, misalnya melalui pembekalan yang bersifat keagamaan.

Dengan maraknya penerbitan hal-hal yang porno aparat penegak hukum diharapkan segera mengambil langkah-langkah tegas dan adil guna memberantas hal-hal yang bersifat pornografi dan pornoaksi.

Disamping itu perlu peran aktif Dewan Pers untuk melakukan pembinaan bagi para anggotanya, begitu juga lembaga sensor film perlu segera melakukan sensor film, dengan demikian akan terhindar dari hal-hal yang bersifat pornografi dan pornoaksi.

Badan legislasi DPR perlu segera memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, dengan demikian ada landasan hukum bagi para penegak hukum untuk mengambil langkah-langkah tegas guna memberantas hal-hal yang bersifat pornografi dan pornoaksi.(BW)