Kerjasama harmonisasi hukum diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan cybercrime di kawasan ASEAN. Paling tidak kerjasama dapat didorong untuk harmonisasi tentang prinsip-prinsip substansi norma, kelembagaan dan procedural. Selain itu, perlu pula meminta pandangan dari negara-negara ASEAN tentang perlu tidaknya meratifikasi konvensi cybercrime Uni Eropa.


Demikian pandangan akhir Kepala BPHN dalam acara Roundtable discussion tentang ‘Harmonisasi Hukum ASEAN Bidang Cybercrime’, di Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010. Pandangan ini dikemukakan Kepala BPHN, Ahmad M. Ramli, setelah mendengarkan jalannya diskusi yang dihadiri oleh para stakeholder bidang cybercrime seperti perwakilan dari Kejaksaan Agung, Penyidik Polda Metro Jaya, PPATK, KPK, advokat, akademisi, Ditjen Bea CUkai, Ditjen AHU Kemkum dan HAM, Ditjen Aptel Kementerian Kominfo dan lain-lain.

BPHN menyelenggarakan Roundtable discussion kedua ini dalam rangka persiapan sidang ASLOM ke-13 akan akan diselenggarakan di Bali pertengahan April mendatang. Sebelumnya, forum diskusi pertama telah dilaksanakan  pada Rabu 3 Maret 2010 lalu dengan tema ‘Bidang Hukum Kontrak Dagang Internasional’. Sementara diskusi ketiga dengan tema ‘Bidang Politik dan Keamanan ASEAN’ akan diselenggarakan pada 30 Maret mendatang. Forum diskusi dilaksanakan BPHN dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari para masing-masing stakeholder, dan masukan ini akan menjadi bahan yang akan dilemparkan delegasi RI pada sidang ASLOM ke-13 mendatang.

Roundtable discussion kedua ini mengundang dua orang nara sumber, yaitu Shinta Dewi, Dosen Hukum Internasional Unpad dan Kompol. Faisal dari Mabes Polri. Sinta Dewi mengemukakan beberapa hal yang perlu harmonisasi di kawasan regional di antaranya, masalah terminology cyber, jenis-jenis kejahatan cyber yang harus diatur (illegal access, illegal interception, data interference, system interference, misuse of devices, computer-related forgery, computer-related fraud, child pornography), masalah procedural (general principles, expedited order, search and seizure, real-time collction and interception, jurisdiction), serta kerjasama antar penegak hukum.

Sementara pembicara Kompol. Faisal mengemukakan bahwa sebenarnya kerjasama penegakan hukum cybercrime telah berjalan antara Polri dengan beberapa negara ASEAN maupun di luar ASEAN. Namun diakuinya, kerjasama penegakan hukum itu seringkali tidak sempurna karena terhambat oleh perbedaan hukum yang berlaku antar negara, serta kesulitan memperoleh akses di negara-negara ASEAN. Oleh karenanya kerjasama harmonisasi hukum serta kerjasama antar penegak hukum sangat dibutuhkan oleh Polri dalam rangka penegakan hukum cybercrime yang sifatnya borderless. (pusren)