RENCANA PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN ARAH LEGISLASI NASIONAL DI BIDANG HUKUM HUMANITER
Jakarta – WARTA-bphn
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Enny Nurbaningsih, menyampaikan keynote speech-nya dengan judul “Rencana Pembangunan Hukum Nasional Dalam Kaitannya Dengan Arah Legislasi Nasional Di Bidang Hukum Humaniter”, dalam kegiatan FGD yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dan International Committe the Red Cross (ICRD).
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Rapat pimpinan, Kantor BPHN Jl. Mayjen Sutoyo-Cililitan Jakarta Timur, Rabu/12), dihadiri pembicara dari Tim Pengkajian Hukum Humaniter Internasional dari ICRC yang dipimpin oleh Rina Rusman selaku Legal Adviser ICRC, Diskum Babinkum TNI, Riza Yasma, dan perwakilan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham RI, Boedi Prayitno. FGD dipimpin oleh dua orang perwakilan BPHN Kemenkumham RI; Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN, Yunan Hilmy dan Kabid. Penelitian Substansi Hukum, Rahmat Trijono.
Dengan mengusung tema “ Hukum Humaniter Dalam Peraturan Umum dan Militer” dalam kegiatan tersebut, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Enny Nurbaningsih menyampaikan: “Hukum Humaniter Internasional (HHI) mempunyai arti yang penting dalam sistem hukum nasional karena sebagai instrumen kebijakan yang digunakan oleh semua aktor Internasional untuk mengatasi isu internasional terkait kerugian dan korban perang”. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian ketika mendiskusikan hukum humaniter, yaitu terkait dengan: ratifikasi Protokol Tambahan II Tahun 1977, pengaturan direct participation in hostilities, tentara bayaran (mercenaries), penggunaan lambang Palang Merah, penggunaan drones, dan perlindungan/protected object seperti benda cagar budaya.
Terkait penggunaan drones dalam hukum humaniter perlu diatur secara internasional bahwa penggunaan drones bukan merupakan hal baru dalam kebijakan pertahanan contohnya Negara Amerika Serikat. Keinginan Amerika Serikat untuk memberantas jaringan terorisme dunia diimbangi dengan kemampuannya untuk menginstalasi sekaligus mengoperasikan drones secara mutakhir. Dalam waktu bersamaan, upaya ini turut menimbulkan keresahan global, dimana masyarakat sipil turut menjadi korban, seperti yang terjadi di Pakistan dan di Afganishtan dalam misi untuk menewaskan Osama bin Laden. Dengan demikian, sangat perlu diatur secara internasional mengenai drones karena berhubungan pula dengan politik luar negeri Indonesia pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam program Nawacita butir ke-3 yang berbunyi Mewujudkan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif Dan Memperkuat Jati Diri Sebagai Negara Maritim.
Beliau menegaskan pula, terkait perlindungan terhadap objek seperti benda cagar budaya yang hilang atau mengalami kerusakan ketika terjadi konflik, perlu dipayungi dengan undang-undang yang baru, karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sendiri tidak mengatur konservasi dalam situasi konflik. Konservasi hanya dilakukan dalam keadaan damai, hal ini perlu diantisipasi bila terjadi situasi yang tidak diinginkan.
“Hal terpenting terhadap implementasi hukum humaniter internasional yang tertuang di dalam Konvensi Jeneva 1949 adalah kesiapan hukum nasional Indonesia, khususnya hukum pidana baik materiil maupun formil untuk mengantisipasi ketika terjadi kejahatan perang ataupun pelanggaran HAM berat”, tambah Ka.BPHN.
“Persoalan mengenai ratifikasi hukum internasional, saat ini harus peratifikasian hukum internasional harus dikaitkan dengan kerangka regulasi dalam rangka mengimplementasikan RPJP Nasional yang saat ini masuk pada tahun ketiga (2015 - 2019), RPJM Nasional, dan RKP 2015, termasuk juga harus berkaitan dengan perwujudan agenda prioritas Presiden yang tertuang di dalam Nawacita”, tutur Ka.BPHN mengakhiri keynote speech-nya.*wartabphn