Jakarta, BPHN.go.id – Regulasi yang mengatur mengenai jaminan atas benda bergerak perlu disempurnakan. Pengaturan lembaga penjaminan seperti gadai, fidusia, dan resi gudang, selain masih diatur secara terpisah, masing-masing peraturan dinilai sudah usang sehingga perlu diperbaharui agar memenuhi kebutuhan terkini di lapangan.
Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto mengatakan, instrumen pengaturan benda bergerak yang berlaku di Indonesia memiliki sejumlah kelemahan. Ketiga instrumen yang dimaksud, yakni Pasal 1150 sampai 1161 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur tentang gadai, UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, serta UU Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomo 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
“Diperlukan pembaharuan dengan membentuk peraturan yang terintegrasi dengan dibentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Benda Bergerak,” kata Kepala BPHN saat memberikan pemaparan dalam Konsinyering Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Jaminan Benda Bergerak, Selasa (8/9) yang dilaksanakan secara virtual.
Salah satu alasan yang melatarbelakangi perlunya RUU tentang Jaminan Benda Bergerak, lanjut Kepala BPHN, adalah adanya ketimpangan aturan yang diatur oleh regulasi existing sehingga di dalam praktik berpotensi memunculkan persoalan. Pertama, mengenai sempitnya cakupan jaminan benda bergerak. Kepala BPHN menjelaskan, akibat terbatasnya ruang lingkup pengaturan jenis jaminan benda bergerak, maka hipotek kapal laut menjadi tidak dapat diakomodir. Padahal praktik internasional, seperti UNCITRAL memberi parameter yang luwes terkait ruang lingkup benda bergerak.
Kedua, isu terkait pendaftaran. Menurut Kepala BPHN, pendaftaran merupakan instrumen yang penting untuk mendata benda yang telah dilekatkan jaminan kebendaan sementara bagi pihak yang berkepentingan, pendaftaran penting untuk mengetahui status benda yang dijaminkan. Regulasi yang mewajibkan adanya pendaftaran hanya fidusia, sementara gadai tidak wajib didaftarkan. Namun, ada persoalan dalam pendaftaran jaminan fidusia, yakni soal pendaftaran di wilayah domisili pemberi fidusia.
“Timbul hambatan sepanjang pemberi fidusia adalah orang asing yang memiliki aset di Indonesia, mengingat belum tentu hukum di Negara domisili mengakui jaminan fidusia,” kata Kepala BPHN.
Ketiga, terkait penjaminan kembali. Dalam fidusia, kata Kepala BPHN, terhadap benda fidusia yang telah difidusiakan dapat dijaminkan kembali, namun belum berlaku bagi gadai. Pada gadai, benda jaminan yang diserahkan kepada penerima gadai menyebabkan benda gadai tersebut tidak dapat lagi dioptimalkan untuk dijaminkan kembali. Padahal, kata BPHN, nilai benda lebih tinggi dari jaminan yang diberikan.
Keempat, mekanisme eksekusi yang tidak seragam. Eksekusi resi gudang dilakukan secara parate eksekusi dan penjualan langsung. Pada gadai, eksekusi menggunakan parate eksekusi dan penjualan di bawah tangan. Terkait penjualan di bawah tangan, kata Kepala BPHN, pada praktiknya sering menimbulkan sengketa khususnya mengenai tata cara pelaksanaannya serta nilai atas benda yang dieksekusi. Sementara itu, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019, eksekusi jaminan fidusia harus berdasarkan kekuatan eksekutorial.
“Permasalahan dalam mekanisme eksekusi ini umumnya berhubungan dengan kepastian hukum bagi pelindungan hak masing-masing pihak baik kreditur maupun debitur pada saat eksekusi berlangsung,” kata Kepala BPHN.
Terlepas dari hal tersebut, Kepala BPHN mengatakan, RUU tentang Jaminan Benda Bergerak perlu ditindaklanjuti dengan tetap mengikuti syarat yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diantaranya RUU harus disertai dengan naskah akademik sebagai acuan dalam penyusunan dan pembahasan RUU.
“Perlu dilakukan pembaharuan dan pembenahan hukum jaminan benda bergerak dalam mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat,” kata Kepala BPHN. (HUMAS BPHN)
Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto mengatakan, instrumen pengaturan benda bergerak yang berlaku di Indonesia memiliki sejumlah kelemahan. Ketiga instrumen yang dimaksud, yakni Pasal 1150 sampai 1161 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur tentang gadai, UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, serta UU Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomo 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
“Diperlukan pembaharuan dengan membentuk peraturan yang terintegrasi dengan dibentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Benda Bergerak,” kata Kepala BPHN saat memberikan pemaparan dalam Konsinyering Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Jaminan Benda Bergerak, Selasa (8/9) yang dilaksanakan secara virtual.
Salah satu alasan yang melatarbelakangi perlunya RUU tentang Jaminan Benda Bergerak, lanjut Kepala BPHN, adalah adanya ketimpangan aturan yang diatur oleh regulasi existing sehingga di dalam praktik berpotensi memunculkan persoalan. Pertama, mengenai sempitnya cakupan jaminan benda bergerak. Kepala BPHN menjelaskan, akibat terbatasnya ruang lingkup pengaturan jenis jaminan benda bergerak, maka hipotek kapal laut menjadi tidak dapat diakomodir. Padahal praktik internasional, seperti UNCITRAL memberi parameter yang luwes terkait ruang lingkup benda bergerak.
Kedua, isu terkait pendaftaran. Menurut Kepala BPHN, pendaftaran merupakan instrumen yang penting untuk mendata benda yang telah dilekatkan jaminan kebendaan sementara bagi pihak yang berkepentingan, pendaftaran penting untuk mengetahui status benda yang dijaminkan. Regulasi yang mewajibkan adanya pendaftaran hanya fidusia, sementara gadai tidak wajib didaftarkan. Namun, ada persoalan dalam pendaftaran jaminan fidusia, yakni soal pendaftaran di wilayah domisili pemberi fidusia.
“Timbul hambatan sepanjang pemberi fidusia adalah orang asing yang memiliki aset di Indonesia, mengingat belum tentu hukum di Negara domisili mengakui jaminan fidusia,” kata Kepala BPHN.
Ketiga, terkait penjaminan kembali. Dalam fidusia, kata Kepala BPHN, terhadap benda fidusia yang telah difidusiakan dapat dijaminkan kembali, namun belum berlaku bagi gadai. Pada gadai, benda jaminan yang diserahkan kepada penerima gadai menyebabkan benda gadai tersebut tidak dapat lagi dioptimalkan untuk dijaminkan kembali. Padahal, kata BPHN, nilai benda lebih tinggi dari jaminan yang diberikan.
Keempat, mekanisme eksekusi yang tidak seragam. Eksekusi resi gudang dilakukan secara parate eksekusi dan penjualan langsung. Pada gadai, eksekusi menggunakan parate eksekusi dan penjualan di bawah tangan. Terkait penjualan di bawah tangan, kata Kepala BPHN, pada praktiknya sering menimbulkan sengketa khususnya mengenai tata cara pelaksanaannya serta nilai atas benda yang dieksekusi. Sementara itu, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019, eksekusi jaminan fidusia harus berdasarkan kekuatan eksekutorial.
“Permasalahan dalam mekanisme eksekusi ini umumnya berhubungan dengan kepastian hukum bagi pelindungan hak masing-masing pihak baik kreditur maupun debitur pada saat eksekusi berlangsung,” kata Kepala BPHN.
Terlepas dari hal tersebut, Kepala BPHN mengatakan, RUU tentang Jaminan Benda Bergerak perlu ditindaklanjuti dengan tetap mengikuti syarat yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diantaranya RUU harus disertai dengan naskah akademik sebagai acuan dalam penyusunan dan pembahasan RUU.
“Perlu dilakukan pembaharuan dan pembenahan hukum jaminan benda bergerak dalam mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat,” kata Kepala BPHN. (HUMAS BPHN)