Komisi III DPR, Kamis (22/4/2010) melakukan Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM dalam rangka pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi. Dalam Rapat yang dipimpin oleh Wakil ketua komisi III Fahri Hamzah, seluruh fraksi yang hadir dan memberikan pandangannya, mendukung dilakukannya perubahan terhadap UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi. Alasan yang dikemukanan adalah bahwa perubahan atas UU No. 22 tahun 2002 dibutuhkan untuk menjamin kepastian hukum bagi hak-hak terpidana yang mengajukan permohonan grasi serta untuk menghindari adanya tindakan diskriminatif. RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi adalah salah satu RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2010 dan menjadi prakarsa dari Pemerintah. Sebelumnya RUU ini telah diajukan oleh Presiden kepada DPR dengan Surat Presiden No.R-10/Pers/2/2010
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Hukum dan HAM yang didampingi oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dan Kepala BPHN serta perwakilan dari Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung membacakan keterangan Presiden terhadap pengajuan Perubahan UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi oleh Pemerintah. Paling tidak terdapat 4 alasan dikemukakan, yaitu: pertama, masih adanya permohonan grasi yang belum dapat diselesaikan Pemerintah dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sampai dengan saat ini masih terdapat 2.106 permohonan grasi yang belum dapat diselesaikan dan merupakan warisan dari permohonan grasi yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Kedua, untuk menghindari adanya kekosongan hukum bagi penyelesaian pemberian grasi yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Ketiga, belum terakomodirnya ketentuan mengenai batas waktu pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati yang menyebabkan adanya ketidakpastian dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati menjadi tertunda sampai dengan jangka waktu yang tidak terbatas, dan keempat, mekanisme permohonan dan penyelesaian permohonan grasi yang melibatkan beberapa instansi sehingga menyebabkan birokrasi yang panjang. 
Selain itu juga dikemukkan hal-hal baru yang akan diatur, yaitu: Pengajuan permohonan grasi dipertegas yakni hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, Pemberian hak pengajuan permohonan grasi kepada Menteri Hukum dan HAM dan ketua pengadilan, serta permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu, kecuali terpidana dijatuhi pidana mati. Pada akhir rapar kerja, pimpinan rapat meminta agar seluruh fraksi yang ada untuk menyampaikan daftar inventarisasi masalah terhadap RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi. [rja]