Jakarta, HUMAS

Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum – Badan Pembinaan Hukum Nasional selenggarakan Bimbingan Teknis mengenai Penerapan Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum, Selasa (5/4).

Dalam pembukaannya Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum, Pocut Eliza, S.Sos., SH., MH sekaligus narasumber yang didampingi Kepala Bidang Analisis dan Evaluasi Hukum SDA-LH, Aisyah Lailiyah, SH., MH, menyampaikan bahwa salah satu obyek pembangunan hukum adalah pembangunan materi hukum yang dirumuskan dalam berbagai peraturan peraturan perundang-undangan. Materi hukum mempunyai kedudukan penting dalam upaya mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun, pada kenyataannya masih sering ditemukan beberapa permasalahan terkait peraturan perundang-undangan, baik mengenai kuantitas maupun kualitas substansi yang diatur.

Persoalan kualitas RUU, banyaknya UU yang dilahirkan tidak melalui penelitian yang memadai, sehingga bermasalah dalam pelaksanaannya. Beberapa penilaian kualitas peraturan perundang-undangan yang ada saat ini beragam seperti, tumpang tindih/disharmoni, konflik, multitafsir, inskonsisten, tidak operasional,  menimbulkan biaya tinggi yang tidak perlu, dan tidak sedikit pula yang tidak memenuhi asas materi muatan yang tidak tepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011.

Kemudian persoalan kuantitas, dapat dilihat dari eskalasi perencanaan legislasi yang terus meningkat, baik yang diprakarsai oleh DPR maupun Pemerintah. Walaupun jumlah realisasi capaian perencanaan yang tertuang dalam Prolegnas RUU tidak pernah melebihi 50%, namun produksi UU selalu bertambah dari tahun ke tahun, demikian pula dengan produksi Peraturan Perundang-undangan di bawah UU juga semakin bertambah. Hal ini juga diikuti dengan pembentukan peraturan pelaksanaannya di bawah level UU, baik yang berkategori regeiling, maupun beleidsregel (kebijakan). Hal ini mengakibatkan jumlah peraturan perundang-undangan di jagad Indonesia ini semakin ‘banjir’ (hiper regulasi), sementara tidak ada mekanisme evaluasi terhadap dampak keberhasilan dari peraturan perundang-undangan ada (existing regulation). Tercatat data pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum (Pusdokinfokum) BPHN, sebanyak 12.453 peraturan perundang-undangan di tingkat pusat (UU, Perppu, PP, Perpres, Keppres Instruksi Presiden, peraturan Menteri sampai Instruksi Menteri). Jumlah itu  belum termasuk Peraturan Daerah dari 34 Provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jumlah peraturan perundang-undangan yang semakin banyak tanpa ada evaluasi yang memadai berpotensi menyebabkan keterasingan dari peraturan perundang-undangan, itu sendiri, yang mengakibatkan hilangnya kedayagunaan dan kehasilgunaannya. Menurut  Jimly Assiddiqie menyatakan “salah satu dampak yang diakibatkan oleh hiper regulasi adalah terjadinya alienasi (keterasingan) hukum: artinya hukum makin teralienasi dan terasing dari masyarakatnya sendiri. Hiper regulasi menciptakan masyarakat seolah berada di luar kenyataan hidup. Alienasi itu muncul ketika semakin banyak aturan, namun peraturan tersebut tidak bisa ditegakkan (Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2014, hlm. 5).

Saat ini, mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sudah dilaksanakan secara terlembaga dan terstruktur di Indonesia. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mencakup perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sedangkan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku, masih belum tercakup dalam pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai suatu siklus menejemen pranata pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiadaan mekanisme evaluasi peraturan perundang-undangan ini juga menjadi salah satu penyebab munculnya banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena proses pembentukan produk hukum tidak diimbangi dengan proses evaluasi terhadap produk tersebut.

Sebenarnya ada beberapa model kontrol terhadap norma hukum yang telah dibentuk (legal norm control mechanism) yang dikenal dalam pranata hukum, yang dapat diartikan sebagai mekanisme evaluasi. Yaitu judicial review (melalui lembaga peradilan), legislative review (melalui lembaga politik), executive review (melalui lembaga administrasi yang melaksnakan fungsi bestuur di bidang eksekutif). Dalam rangka melaksanakan executive review ini, maka saat ini telah dibentuk Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum (Pusat Anev) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan HAM jo.Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI.

Kegiatan yang digelar mulai pk. 08.00 s – d pkl. 12.30 wib, diikuti oleh 50 peserta dari beberapa Kementerian dan Lembaga non Kementerian serta para pegawai dilingkungan BPHN ditutp dengan sesi diskusi untuk memberikan masukan terhadap kegiatan upaya yang di lakukan oleh Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum kedepannya. *HUMAS - tatungoneal