Dengan diserahterimakan organisasi, administrasi dan finansial lembaga-lembaga di lingkungan Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, serta pembinaan hakim kepada Mahkamah Agung terhitung tanggal 1 April 2004 lalu, maka di lingkungan Departemen Kehakiman dan HAM berkembang wacana untuk melakukan perubahan nama Departemen Kehakiman dan HAM. Namun menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa, karena memiliki konsekuensi biaya yang mahal.

Bagi saya, nama itu bukanlah soal prinsip, lebih baik diadakan studi yang komprehensif, baru menentukan perubahan nama. Nama itu bukanlah sesuatu yang prinsipiil, nama itu tidak substansial, jadi kita mesti hati-hati dalam mengubah nama. Kita harus belajar dari perubahan nama departemen lain dan juga Departemen Kehakiman yang pernah diubah menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan, kemudian diubah menjadi Departemen Kehakiman lagi, dan sekarang diubah lagi dengan menggunakan nama Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Dengan tetap menggunakan nama Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, bukan soal setuju atau tidak setuju. Tetapi menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini agar tidak dilakukan secara tergesa-gesa, pertama, harus dilihat dulu kewenangan apa yang harus diberikan kepada departemen ini di masa yang akan datang. Kedua, harus diingat bahwa untuk mengubah nama itu memiliki konsekuensi biaya kalau belum matang, belum mantap dan belum mengkristal idenya. Kalau masih mentah dan masih kontroversi, ya jangan dulu melakukan perubahan nama. Sebab, sekali diubah, kita akan mengganti kop surat, plang nama, kartu nama yang biayanya dapat mencapai milyaran rupiah. Misalnya, Depdikbud diganti dengan Depdiknas dan waktu itu mau diganti lagi Depdikbud lalu Depdiknas. Penggantian kop surat dan plang nama di semua unsur di seluruh Indonesia yang kurang matang seperti itu, ternyata telah menelan biaya trilyunan rupiah. Jadi jangan dianggap sepele. Tapi kalau memang mau melakukan perubahan harus hati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa. Sebab hal inikan masih berkembang, tunggu dulu apa kewenangan yang akan diberikan kepada departemen itu nantinya.

Selama ini meskipun justice itu dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan keadilan dalam nama Indonesianya selalu disebut kehakiman (mis: nomenklatur Departemen Kehakiman dan HAM selama ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Department of Justice and Human Rights, red), dan dalam judul bab sendiri dalam undang-undang dasar disebutkan Kekuasaan Kehakiman yang menunjukkan pada fungsi dan kekuasaan yang berkaitan dengan keseluruhan yang tidak sempit pada pengertian hakim di dalamnya. Kehakiman itu luas, menyeluruh, mencakup seluruh aktivitas hukum dan keadilan tidak boleh dipersempit hanya peradilan. Kehakiman dalam undang-undang dasar itu luas maknanya dan walaupun kekuasaan judiciary itu sekarang independen di Mahkamah Agung, tapi fungsi pemerintahan tetap ada urusannya dengan urusan-urusan kehakiman.

Karena itu, menurutnya tetap menggunakan nama Departemen Kehakiman dan HAM tidak apa-apa, tetapi bukan berarti tidak boleh diubah, boleh diubah cuma lihat dahulu perkembangannya, jangan cepat-cepat. Umpamanya diganti dengan nama Departemen Justicia, nanti dulu, nanti orang memahami istilah itu kontroversi bagaimana? Jadi lebih baik dibuat dahulu kajian yang komprehensif, menyeluruh sambil diingat bahwa nama, istilah itu tidak substantif, tidak apa-apa tetap pakai nama yang ada (Departemen Kehakiman dan HAM, red). Tapi bahwa suatu hari nanti sudah mantap dan jelas apa kewenangan yang diberikan kepada departemen dan setelah dibayangkan selama 100 tahun ke depan akan tidak berubah, baru diganti nama boleh. (Tim Red.)