Jakarta, WARTA-BPHN

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Prof. DR. Enny Nurbaningsih, SH.,M.Hum yang didampingi oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Pocut Eliza, S.Sos., SH.,MH berkenan untuk membukan seminar dengan tema Problematika Pemberian Remisi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM.

Dalam sambutannya beliau menjelaskan bahwa munculnya wacana untuk merevisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan karena dipahami bahwa ketentuan dalam PP Nomor 99 tersebut memberikan pengetatan pemberian remisi yang dipandang tidak adil dan diskriminatif sehingga menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Remisi atau pengurangan masa pidana merupakan hak dari setiap terpidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 14 ayat (1) huruf i yang menentukan bahwa "Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." Berdasarkan ketentuan tersebut, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006.

Untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat tersebut kemudian dilakukan perubahan kedua terhadap PP Nomor 32 Tahun 1999 dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tersebut mengatur lebih ketat pemberian remisi berupa penambahan beberapa persyaratan bagi narapidana tertentu, yaitu narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, kata beliau.

Bahkan beberapa kalangan menilai bahwa PP 99/2012 tersebut layak diapresiasi karena memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun di sisi lain terdapat juga pandangan bahwa aturan ini bersifat diskriminatif karena membedakan perlakuan terhadap narapidana kasus-kasus kejahatan tertentu, utamanya pelaku kejahatan korupsi, teroris, dan narkotika. Namun dalam  persoalan ini perlu diperhatikan filosofis pemidanaan di Indonesia yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi retributif (pembalasan), deterrence (penjeraan), dan resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Bahkan tidak sedikit yang berpandangan bahwa PP ini bertentangan dengan konsep Hak Asasi Manusia, jelas beliau

Namun dalam  persoalan ini perlu diperhatikan filosofis pemidanaan di Indonesia yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi retributif (pembalasan), deterrence (penjeraan), dan resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya.

Pemidanaan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi). Paradigma ini merupakan salah satu pendorong Pemerintah untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 yang dipandang mengedepankan filosofi pemenjaraan. Tetapi di sisi lain, psikologi masyarakat masih menginginkan adanya pembalasan atau penjeraan terhadap pelaku tindak pidana, apalagi terhadap pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika.

Di samping itu, dalam mengimplementasian PP tersebut memang masih terdapat beberapa persoalan terkait pemberian remisi antara lain: (i) pemberian remisi terhadap warga binaan dipandang sebagai wilayah kekuasaan eksekutif, sehingga tidak tepat ketika salah satu persyaratan pemberian remisi masih melibatkan instansi lain misalnya dalam syarat adanya pernyataan “Justice Collaborator” yang dikeluarkan oleh instansi penegak hukum, (ii) overkapasitas Lapas di Indonesia; (iii) belum ada indikator yang jelas untuk pemberian remisi misalnya apa saja indikator seorang napi “berkelakuan baik” dan layak mendapatkan remisi; serta (iv) terlalu banyak jumlah dan jenis remisi yang diberikan kepada warga binaan.

Persoalan-persoalan di yang disampaikan tersebut memerlukan sebuah kajian yang komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait dengan pemberian remisi agar dapat memberikan sebuah gambaran utuh mengenai peta persoalan terkait problematika pemberian remisi, khususnya kepada pelaku tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Dari berbagai hal yang telah dikemukakan, saya berharap pada seminar ini akan menghasilkan masukan-masukan konkrit bagi upaya memberikan usulan yang objektif bagi para pembentuk kebijakan utamanya dalam rangka rencana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012.

Kegiatan yang digelar di Aula Mudjono Lt. IV kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional dihadiri lebih dari seratus orang peserta yang terdiri para Akademisi, LSM, Advokat/ pengacara, para pemerhati hukum dan undangan lainnya.

Adapun yang menjadi narasumber tentunya sudah tidak diragukan lagi seperti Prof. Dr Nur Basuki Minarno,SH, M.Hum (Guru Besar Fak Hukum Universitas Airlangga); H. Indra Sahnun Lubis, S.H. (Presiden KAI); Nur Kholis (Ketua  Komnas HAM);  Dr. H. Muhammad  Nurul Irfan, M.Ag (Dosen Fak Hukum dan Syariah, Anggota Tim Fatwa MUI);  Ma’mun, Bc,Ip, SH,MH (Staf Ahli Bidang Reformasi Birokrasi Kemenkumhan); Drs. Imam Suyu, Bc,IP, SH,MH (Direktur Bina Narapidana dan Pelayanan Tahanan); Lalola Easter (Peneliti Indonesia Corruption Wach); serta dipandu oleh moderator Drs. F. Haru Tamtomo, Bc.IP., M.Si. (Staf Ahli  Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Kementerian Hukum dan HAM RI). *tatungoneal