Potensi Ekonomi Besar Belum Tersentuh Maksimal, BPHN Bentuk Pokja Analisis Evaluasi Industri Kreatif

BPHN.GO.ID – Jakarta. Potensi ekonomi dari sektor industri kreatif sangat besar untuk terus berkembang. Ambil contoh dari subsektor film, Badan Perfilman Indonesia (BFI) memproyeksikan pada tahun 2024, industri tersebut bakal memberi dampak ekonomi mencapai Rp.130 Triliun dan penciptaan lapangan pekerjaan sebanyak 387 ribu lapangan pekerjaan. Bila ditata dan dikelola dengan optimal, prospek industri kreatif yang terdiri dari sekitar 17 subsektor akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara makro dalam beberapa waktu ke depan.

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Nur Ichwan mengatakan, kekuatan ekonomi negara tidak lagi hanya mengandalkan Sumber Daya Alam (SDA) melainkan mengarah kepada optimalisasi kreativitas dan inovasi. Industri kreatif merupakan industri yang lahir dari kekuatan ide dan pengetahuan sumber daya manusia (SDM). Industri kreatif menjadi salah satu sektor unggulan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk mewujudkan visi pembangunan Indonesia.

“Maka dari itu, tahun ini, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Industri Kreatif. Terdapat lima isu krusial awal terkait dengan industri kreatif ini,” kata Nur Ichwan, saat memimpin Rapat Narasumber Pertama Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Industri Kreatif, Senin siang (13/5) di Ruang Rapat lantai 2 BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.

Adapun kelima isu krusial berkaitan dengan industri kreatif, lanjut Nur Ichwan, Pertama, ketersediaan SDM kreatif yang profesional dan kompetitif; Kedua, ketersediaan bahan baku yang berkualitas dan beragam; Ketiga, pengembangan industri yang berdaya saing, tumbuh, dan beragam serta kelembagaan, ketersediaan infrastruktur, dan teknologi yang sesuai dan kompetitif; Keempat, ketersediaan pembiayaan yang sesuai, mudah diakses, dan kompetitif; dan Kelima, perluasan pasar bagi karya, usaha, dan orang kreatif.

“Kita fokus pada isu pertama, yakni ketersediaan SDM kreatif yang profesional dan kompetitif,” kata Nur Ichwan.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Industri Kreatif BPHN, Reza Fikri Febriansyah mengatakan, terkait dengan isu krusial yang pertama, Tim Pokja AE Industri Kreatif telah memetakan beberapa isu lanjutan, seperti misalnya keterkaitan isu pendidikan dan pelatihan vokasi dengan kebutuhan industri. Beberapa fakta awal yang ditemukan, salah satunya kurikulum pendidikan dalam pendidikan dan pelatihan vokasi ternyata masih belum update (terkini) sehingga tidak link & match dengan industri kreatif. Belum lagi fakta lainnya, ada persoalan SDM kreatif seperti belum layaknya upah yang diterima. Di samping itu, minimnya pelindungan bagi pekerja di sektor industri kreatif.

“Praktiknya banyak pelaku di industri kreatif bekerja tanpa andanya kontrak tertulis dan formal,” ungkap Reza Fikri.

Dalam kapasitasnya sebagai narasumber, Direktur Pengembangan Kekayaan Intelektual Industri Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sabartua Tampubolon, mengungkap sejumlah hal yang menjadi tantangan dalam mengembangkan industri kreatif di Indonesia, salah satunya pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, belum berhasil memancing industri perbankan ataupun non bank untuk mengucurkan pembiayaan kepada pelaku industri kreatif.

“Selain kurangnya literasi mengenai pembiayaan berbasis Kekayaan Intelektual (KI) sebagai jaminan, belum adanya penilai KI sebagai valuator dari nilai aset tidak berwujud ini menjadi salah satu hambatan terselenggaranya pembiayaan berbasis KI. Sebagai informasi, saat ini draf Permenparekraf tentang Penilai KI sedang disusun,” kata Sabartua. 

Senada dengan Sabartua, Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia, Gunawan Paggaru, menjelaskan, riset terbaru BPI dengan Universitas Indonesia mengenai potensi industri film mestinya disikapi dan dimanfaatkan dengan baik. Apabila proyeksi pertumbuhan industri film bisa dijaga momentumnya, maka pada tahun 2027, riset tersebut menunjukkan bahwa dampak ekonomi dari industri diperkirakan akan mencapai Rp. 156 Triliun dengan penciptaan lapangan pekerjaan sebesar 616 ribu lapangan kerja. 

“Dari data, maka kebutuhan tenaga kerja subsektor film akan meningkat dan muncul isu soal daya saing dan kompetensi. Namun, persoalannya pendidikan vokasi di Indonesia (ada 22 Program Studi yang punya Program Film) tetapi belum link & match padahal kita sudah buat standardisasi yang lengkap,” sebut Gunawan.

Sebagai informasi, Pokja AE Industri Kreatif melibatkan stakeholders yang luas sebagai anggota Pokja. Selain para Analis Hukum dari internal BPHN Kementerian Hukum dan HAM, Pokja AE juga menggandeng anggota dari unsur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham, dan Otoritas Jasa Keuangan. Pokja AE Industri Kreatif juga melibatkan sejumlah narasumber dari eksternal di mana dalam kesempatan ini Pokja AE melibatkan Badan Perfilman Indonesia dan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (Humas BPHN)