Penyempurnaan Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum Sebagai Upaya Mendapatkan Hasil Analisis dan Evaluasi Yang Berkualitas

Dalam melakukan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, selama ini menggunakan metode atau pedoman analisis dan evaluasi hukum atau yang lebih dikenal dengan Pedoman 6 Dimensi. Pedoman yang saat ini digunakan, telah dikembangkan sejak tahun 2016 dengan beberapa kali penyempurnaan yang terakhir adalah Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum Nomor PHN-01.HN.01.03 Tahun 2019. Perubahan yang paling signifikan adalah dari Metode 5 Dimensi disempurnakan menjadi Metode 6 Dimensi dengan memasukkan dimensi Pancasila sebagai dimensi utama dalam Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum. Namun demikian, untuk mendapatkan hasil analisis dan evaluasi hukum yang lebih berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan penyempurnaan kembali atas pedoman tersebut.

“Atas dasar pemikiran tersebut, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional memandang perlu untuk melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion Penyempurnaan dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pedoman Analisis Dan Evaluasi Hukum, yang dimaksudkan untuk memperoleh masukan dari narasumber dan peserta terkait penyempurnaan pedoman dan juga untuk memberikan masukan terkait “baju hukum” yang tepat terhadap pedoman yang telah disusun agar mempunyai dasar hukum yang kuat untuk dipatuhi dalam penggunaanya”, demikian diungkapkan oleh Liestiarini Wulandari, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, BPHN.

Dalam kegiatan FGD yang dilaksanakan di BPHN pada tanggal 31 Juli 2019, dihadiri peserta dari unsur Kementerian/LPNK terkait dan NGO dan akademisi, hadir pula narasumber, yakni Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Dalam FGD tersebut, untuk mengurangi potensi disharmoni peraturan perundang-undangan, Prof. Jimly menawarkan gagasan dilakukannya sistem kodifikasi dan ‘omnibus law’. Menurut Prof. Jimly, “sistem kodifikasi dan ‘omnibus law’ diperlukan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yang dimaksudkan agar penulisan dan penyusunan peraturan perundang-undangan selain dapat bersifat terpadu juga dapat bersifat harmonis dengan pelbagai materi undang-undang yang mengatur subjek dan objek yang berbeda dari undang-undang lain dalam satu kesatuan sistem suatu negara hukum berdasarkan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi”. Selain itu menurut Prof Jimly, “sistem kodifikasi dan ‘omnibus law’ merupakan pola-pola penyusunan norma peraturan perundang-undangan secara tertulis yang bersifat sistematis dan terpadu yang didasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dengan pembentukan undang-undang sebagai produk persetujuan politik atau akta legislatif (legislative act) tertinggi di bawah UUD melalui DPR yanng penjabarannya lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan pelaksana (executive acts) oleh lembaga pelaksana undang-undang atau cabang kekuasaan eksekutif”. Terkait dengan Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum, Menurut Prof. Jimly, “Dimensi Pancasila seharusnya dipahami sebagai nilai-nilai Pancasila sebagai satu kesatuan dengan Undang-Undang Dasar. UUD merupakan norma operasional dari Pancasila, dan Pancasila itu sendiri merupakan norma fundamentalnya”.

Dalam kaitannya Pancasila sebagai salah satu dimensi dalam metode analisis dan evaluasi hukum, menurut Prof. I Gusti Ayu, “Pancasila dalam sistem hukum menjadikan Pancasila sebagai dasar pijakan, sehingga apapun yang diterapkan maka wajib tunduk dan mengamalkan Pancasila. Selain itu Pancasila sebagai cita hukum, menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang merupakan tingkat tertinggi dalam teori jenjang norma hukum”. Lebih lanjut Prof. I Gusti Ayu mengutarakan “bahwa cita hukum Pancasila dalam pembangunan sistem hukum nasional mempunyai tiga nilai, yakni Nilai Dasar, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan, kemudian Nilai instrumental, yaitu pelaksanaan umum dari nilai-nilai dasar, yang berbentuk norma hukum yang selanjutnya dikristalisasi dalam peraturan perundang-undangan, dan terakhir Nilai Praktis, yaitu nilai-nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kenyataan yang berasal dari nilai dasar dan nilai instrumental, sehingga nilai praktis sesungguhnya menjadi batu uji apakah nilai dasar dan instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat terhadap hukum atau penegak hukum.