Kepala BPHN, Wicipto Setiadi

 

Jakarta, Warta-bphn

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Wicipto Setiadi membuka Forum Group Discussion ke II dalam Rangka Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional,Kamis (5/4), bertempat di Lantai IV Gd Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jln. May. Jen Sutoyo Cililitan Jakarta Timur.

Dalam sambutannya Wicipto menjelaskan bahwa pertemuan pertama sudah dilakukan beberapa waktu lalu, dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM, Amir Samsuddin, hadir dalam forum tersebut beberapa pakar hukum antara lain, Prof. Muladi, Prof. Sunaryati, DR. Todung Mulya Lubis, Prof.Adnan Buyung dan lainnya. Ini adalah sesi kedua dari beberapa sesi yang akan direncanakan oleh BPHN kedepan. Perencanaan Pembangunan hukum ini, memang diperlukan masukan baik dari akademisi maupun dari kementerian, dan mudah-mudahan, karena ini masukan dari stakeholders, nanti PPHN menjadi milik kita bersama, sementara RPJMN yang sekarang sudah hampir selesai ditahun 2014 dan akan disusun kembali RPJMN 2015-2019.

Adapun tujuan dari pertemuan yang kami lakukan adalah memberikan masukan sekaligus menampung input dari stakeholder yang terkait hal-hal apa saja yang nanti dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 sehingga ini menjadi bahan masukan sekaligus bisa didengarkan oleh Bapenas, sebab Bapenas selama ini RPJMN-nya dititik beratkan pada non hukum, dengan adanya kegiatan ini berharap dalam RPJMN 2015-2019 dapat terlihat perencanaan pembangunan bidang hukum ini, dan kami ingin menggarisbawahi dalam pembangunan hukum ini lebih mengarah pada pembangunan hukum berwatak pancasila, Hukum yang mensejahterakan, Hukum yang memperkokoh NKRI, Hukum yang mengembangkan Bhineka Tunggal Ika, Hukum yang memperkokoh demokrasi, Hukum  yang memperkuat HAM,  dan Hukum yang melindungi tumpah darah Indonesia, ini semua tidak terlepas dari UUD 1945, dan masukan dari para undangan ini diharapkan menjadi dokumen pendukung RPJMN 2015-2019, demikian Kepala BPHN Wicipto Setiadi menyampaikan sambutannya.

Menurut pemikiran Romli Atmasasmita yang juga hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa untuk tahun 2015 diperlukan perubahan yang besar dan mendasar, intinya adalah bagaimana memerankan Hukum sebagai sarana pembangunan yaitu aktual dan realistik, selama ini seluruh kebijakan nasional didominasi oleh politik dan ekonomi dan hukum hanya sebagai pelengkap atau asesoris saja, dan hukum diperlukan ketika ada terjadi krisis ekonomi, krisis politik termasuk didalamnya penegakan hukum. Sejak merdeka sampai saat ini hukum hanya sebagai alat implemtasi kebijakan-kebijakan ekonomi, pilitik dan sosial, padahal menurut Muchtar Kusumah Atmadja hukum itu ada didepan, harus membawa perubahan, dan saat ini sudah terbalik perubahan-perubahan hukum yang terjadi justru dikarenakan adanya perubahan politik dan ekonomi. Harapan saya dapatkah kita memberikan pembekalan pada pemerintahan yang akan datang untuk menjungkirbalikan kondisi hukum dan pembangunan hukum sebab ini persoalan yang sangat penting. Lebih tandas dikatakan dari mana harus dimulai membenahi hukum tersebut, jika dari hulu kehilir, maka hulunya pendidikan hukum, hilirnya implementasi dan output hasil pendidikan hukum dalam praktek.

Dengan adanya otonomi daerah secara politis itu dibenarkan sebab tidak sentral kekuasaan, tapi secara hukum sosial dan ekonomi terjadi kontra produkstif, dimana pusat tidak lagi menguasai seluruhnya, SDM tapi ekses negatifnya korupsi dimana-mana, ini persoalan yang dihadapi oleh bangsa. Lalu, Hukum pidana adalah tolok ukur persatuan dan kesatuan bangsa, namun jika Hukum pidana sudah berbeda satu dengan yang lain maka akan menimbulkan kacaunya persatuan bangsa juga akan menimbulkan konflik-konflik yurisdiksi, jelas Guru Besar Universitas Pajajaran. Menanggapi Hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia dikatakan tadi dapat dilihat misalnya, seseorang melakukan pelanggaran hukum dan mendapatkan hukum cambuk, namun warga Aceh pergi ke suatu tempat dan melakukan pelanggaran yang namun hukumannya berbeda dengan di Aceh, ini salah satu persoalan keadilan hukum, tandasnya

Hal lain yang saya pikir perlunya pemikiran serius dalam kontek globalisasi saat ini adalah kewenangan daerah untuk bekerjasama dengan dunia luar, apalagi dalam bidang sosial, ekonomi dan lain-lain termasuk sumber daya alam. Intinya Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya dalam muara hukum dihadapkan pada dua persoalan yakni masalah didalam Internal dan hubungan dengan negara lain, khususnya bagaimana kita menyikapi konfrensi internasional yang berlaku dalam bidang kehidupan kita, bagaimana implementasi kedalam undang-undang, tapi tidak merugikan kepentingan nasional, contoh diberbagai undang-undang yang ditemui, UU migas, UU kehutanan dan migas dan lainnya sudah jelas bahwa pasal 33 UUD 1945 sudah banyak ditumpangi.

Lalu dalam masalah akademis untuk pendidikan Hukum, sudah tidak jadi rahasia lagi bahwa pendidikan hukum dikita itu menganut hukum pragmatik, artinya bukan hanya dididik tapi juga diciptakan sebagai lawyer-lawyer yang tangguh, pendidikan hukum yang terlupakan adalah pendidikan moralitas pancasila sebagai falsafah landasan kita, sebab banyak mahasiswa lebih banyak tahu hukum internasional sari pada hukum nasional, untuk itu kita wajib untuk kembali pada pancasila, dimana moral pancasila sudah hilang dari tatanan segi nilai-nilai kita baik secara teoritik kurikulum maupun dalam praktek negara hukum sebab pendidikan pancasila hanya didapat pada semester pertama, begitu juga dengan diskusi-diskusi hukum tidak pernah terkait dengan lima sila pada pancasila dan mereka lebih tertarik dengan teori-teori hukum barat. Ini persoalan bangsa yang harus segera kita perbaiki dan yang harus dievaluasi adalah prolegnasnya baik itu dari hulu maupun dari hilirnya lalu dievaluasi langkah akademis sampai pada subtansinya sebab kekuatan RUU itu pada langkah akdemik, dari sinilah bisa dilihat mau kemana RUU tersebut, sebab UU No. 12 Tahun 2011 Naskah Akademik itu wajib. demikian Prof. Ramli Atmasasmita menjelaskan pada auden. *Tang-Humas