Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku terkejut dengan laporan adanya narapidana kasus terorisme yang disebut-sebut mengendalikan aksi-aksi teror dari balik jeruji di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta.
Laporan tersebut memperlihatkan penanganan narapidana teroris tidak menjadi perhatian serius sehingga mereka leluasa melakukan komunikasi, bahkan mengendalikan aksi teror dari dalam sel. Untuk menyelidiki kebenaran laporan itu, Kamis (18/3), Patrialis memanggil Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Sam L Tobing serta Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Untung Sugiono untuk melakukan penyelidikan menyeluruh kasus tersebut dengan pembentukan tim khusus.
Patrialis Akbar menegaskan hal itu saat dihubungi Kompas di Jakarta, Kamis malam. ”Saya terkejut saat membaca beritanya, dan saya langsung memanggil Irjen dan Dirjen Pemasyarakatan untuk membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus tersebut. Apa betul mereka mengendalikan aksinya. Sungguh luar biasa jika ada seorang napi yang bisa mengendalikan aksi-aksi perlawanannya melalui jeruji sel penjara,” tandas Patrialis.
”Irjen dan Dirjen sudah saya perintahkan untuk memeriksa sesegera mungkin. Setiap ada ’lubang’ pasti kami akan kejar dan mengusutnya,” katanya. Jika ditemukan bukti-bukti adanya pengendalian aksi terorisme dari balik penjara dan kesalahan petugas LP Cipinang, katanya, maka yang bersalah akan mendapat tindakan dan sanksi.
Sebaliknya, kata Patrialis, jika terbukti ada pelanggaran yang dilakukan napi teroris, pihaknya akan memberikan sanksi yang berat bagi napi. ”Kalau benar napi yang salah kita harus ambil tindakan keras. Kita cabut hak mendapatkan remisinya. Mengapa mereka bisa mendapatkan HP (telepon seluler)?” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, Iwan Darmawan alias Rois, terpidana mati kasus bom Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia pada 2004, diduga terkait dengan dua tersangka teroris Aceh. Disinyalir ada juga Sapta alias Imet alias Syaelendra dan Zaki Rahmatullah yang disebutkan mengendalikan aksi teror melalui telepon selulernya dari selnya di LP Cipinang.
Humas Ditjen Pemasyarakatan Chandran Listiono menjelaskan, penanganan napi teroris di LP ditangani sejumlah lembaga, di antaranya polisi (Densus Antiteror 88), pihak LP, dan Kementerian Agama. Pihak LP selalu memberikan informasi jika napi teroris memperoleh kebebasan atau ketika berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Petugas LP bertanggung jawab pada pengawasan napi.
Sejumlah kalangan menilai, pemerintah, terutama kepolisian dan instansi terkait lain, tidak punya rencana jelas soal penanganan para kombatan, yang diduga pelaku teror pasca-penangkapan mereka dan pada saat mereka berada di dalam penjara.
Akibatnya, alih-alih melakukan upaya deradikalisasi agar para kombatan tadi dapat kembali diterima dan beraktivitas normal di masyarakat, mereka justru ditempatkan dalam posisi tidak punya pilihan selain tetap menjalankan aksi teror, bahkan mungkin lebih radikal.
Menurut Noor Huda Ismail dari Yayasan Prasasti Perdamaian, seharusnya pemerintah juga bisa mempertimbangkan dinamika internal, terutama di dalam penjara. Selama ini orang-orang itu punya keleluasaan, seperti memberi pengajian, bahkan dari penjara ke penjara.
Lebih lanjut, Huda mengakui masih terdapat dilema soal perlu tidaknya membuat penjara khusus pelaku teror. Kalau dicampur mereka bisa saja membangun jaringan dan merekrut orang atau simpatisan baru. Akan tetapi, kalau dipisahkan, lalu mereka dikumpulkan, bukan tidak mungkin hubungan mereka justru makin mengkristal dan mengeras. ”Tidak sedikit, mereka yang sebelumnya hanya cheerleaders (tidak punya peran signifikan) setelah ditangkap dan dipenjara malah naik kasta,” ujar Huda.
Mantan Kepala Badan Intelijen dan Strategis (Bais) TNI Marsdya Ian Santoso Halim Perdanakusuma menilai, para pelaku teroris seharusnya tidak diperlakukan layaknya pelaku kriminal. ”Mereka basisnya fanatisme ideologis, bukan kelas kriminal biasa. Menyelesaikan terorisme butuh waktu panjang dengan cara-cara intelijen, bukan dengan operasi tempur,” ujar Ian.
Pimpinan baru
Pasca-tewasnya Dulmatin dan Noordin M Top, kelompok itu memiliki pemimpin baru. Calon pimpinan baru itu adalah Saptono alias Pak Tuo, adik Jaja alias Pura Sudarma alias Slamet, asal Bandung, Jawa Barat. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang, Kamis, mengatakan, Saptono memiliki potensi sangat tinggi untuk memimpin aksi teror.
Dari penggerebekan di lokasi latihan di Aceh, diketahui Saptono tidak berada di lokasi kamp di mana polisi dan teroris sempat baku tembak. ”Saat itu, posisi Saptono berada di Ma’tap di Kota Banda Aceh,” papar Aritonang. Saptono dikenal sebagai instruktur di kamp pelatihan militer yang dibentuk Rois di Gunung Peti, Cisolok, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Saptono merupakan buronan lama terkait pengeboman di depan Kedutaan Besar Australia pada 2004.
Dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dilaporkan, jaringan teroris terpecah. Anggota kelompok perekrutan lokal mulai menyerah, sedangkan anggota dari luar NAD yang menjadi buron polisi masih terus bertahan, diperkirakan sebagian telah meninggalkan wilayah ini.
Dalam dua hari terakhir, dua tersangka teroris yang masuk daftar pencarian orang menyerahkan diri. Mukhtar Al Faruk menyerahkan diri ke Polres Lhokseumawe, Selasa lalu. Sehari kemudian Abu Rimba alias Munir (25), yang diduga menjadi penunjuk jalan menyerahkan diri ke Polres Aceh Besar.
Mantan Panglima GAM Gajah Keng Tajudin, yang ikut mengantar penyerahan Munir, menuturkan, dalam beberapa hari ini keluarga melakukan kontak dengan Munir dan membujuknya agar menyerahkan diri.
Sementara itu, Ketua Front Pembela Islam wilayah NAD Yusuf Al Qardhawi mengatakan, Teungku Muslim Atthahiri, pimpinan Dayah Darul Mujahidin Lhokseumawe, dibebaskan dari sangkaan keterkaitan dengan kelompok bersenjata di Aceh. Teungku Muslim dalam status wajib lapor. (dwa/tri/sf/aik/mhd/ana/har)
Jakarta, Jumat, 19 Maret 2010 | 04:43 WIBKompas.com