Mengurai Benang Kusut Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial di Indonesia

Jakarta, BPHN.go.id – Implementasi program Jaminan Sosial Nasional ibarat ‘jauh panggang dari api’. Sepak terjang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS, baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan dinilai belum memenuhi mandat undang-undang dan kebutuhan masyarakat. Belum lagi beragam temuan di lapangan, menuntut BPJS serta instansi terkait lain berpikir keras mencari jalan keluar demi penyelenggaraan Jaminan Sosial yang lebih ideal.

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto mengatakan, pelaksanaan Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dihadapkan pada berbagai persoalan antara lain terkait dengan kepesertaan, persoalan kelembagaan, mekanisme evaluasi atau pengawasan yang kurang efektif serta regulasi yang tidak harmonis. Dibutuhkan komitmen bersama dalam mengatasi beragam persoalan pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan lantaran persoalan yang dihadapi saling beririsan antar instansi baik Kementerian/Lembaga dan BPJS maupun instansi yang berwenang lainnya.

“UU Nomor 40 Tahun 2004 saat ini berusia 16 tahun, RUU tersebut masuk daftar Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, Perlu komitmen bersama dengan stakeholder mengenai urgensi revisi UU Nomor 40 Tahun 2007, sehingga bisa masuk daftar Prolegnas Prioritas Tahunan,” kata Kepala BPHN, dalam sambutannya pada FGD Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi (AE) terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Selasa (25/8) di Ruang Mochtar Kusumaatmadja gd.BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.

Persoalan dalam pelaksanaan program Jaminan Sosial tidak melulu bertumpu pada BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan semata. Ada peran dan tanggung jawab instansi lain seperti misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), termasuk juga Pemerintah Daerah serta instansi terkait lainnya. Di mana antar instansi atau lembaga ini saling melampaui kewenangannya yang dipicu akibat ketidakharmonisan regulasi sehingga bermasalah pada saat pelaksanaan.

Sebagai contoh, adanya dualisme kewenangan dalam melakukan penilaian kinerja BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam Perpres Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Menteri Keuangan diberikan kewenangan melakukan penilaian kinerja. Namun, dalam regulasi yang lain, yakni PP Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan dan PP Nomor 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, justru DSJN yang diberikan kewenangan.

“Perlu sinkronisasi agar kewenangan dalam melakukan penilaian kinerja terhadap kedua BPJS selaras dan harmonis,” kata Anggota DJSN Indra Budi Sumantoro, ketika mengikuti FGD secara virtual.

Selaras dengan hal itu, BPJS Kesehatan juga mengeluhkan terkait dengan belum adanya pejabat atau lembaga yang ditunjuk oleh Presiden untuk memberikan persetujuan dan mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban BPJS sebagaimana ketentuan Pasal 37 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Padahal setiap tahunnya, BPJS wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada Presiden.

“Hal ini berakibat penilaian kinerja Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan belum dilaksanakan sejak periode tahun 2014 hingga periode saat ini. Perlu diakomodir ketentuan penunjukkan Pejabat atau lembaga yang berwenang mengesahkan laporan pertanggungjawaban BPJS dalam UU Nomor 24 Tahun 2011,” kata Asdep Bidang Pelayanan Hukum pada BPJS Kesehatan, Heny Rahayuningsih, sewaktu mengikuti FGD secara virtual.

Tidak mudah mengurai benang kusut dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Yang paling banyak menjadi sorotan seperti defisit pembiayaan BPJS Kesehatan hingga isu fraud yang diduga terjadi pada fasilitas kesehatan, terus terjadi dari tahun ke tahun.  Saking kompleksnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir Maret 2020 lalu, mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait persoalan defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Sebab, persoalan defisit ini melebar hingga pada aspek keberlanjutan program JKN secara umum dan salah satu dampaknya, adalah naiknya iuran BPJS Kesehatan.

Terkait dengan Jaminan Sosial bidang Ketenagakerjaan, salah satu tugas besar dan harus segera diselesaikan adalah pengalihan program asuransi sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan program pensiun pada PT ASABRI (Persero) serta pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun pada PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, masih ada sejumlah aturan pelaksanaan dari UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011 yang belum diselesaikan termasuk RPP tentang Tata Cara Pengalihan Program Dari PT ASABRI dan PT TASPEN ke BPJS Ketenagakerjaan.

“Masih ada regulasi yang belum selesai dari tahun 2004. Beberapa tantangannya karena ini menyangkut lintas sektor sehingga perlu ada kesepahaman. Selain itu, faktor lainnya macam-macam, seperti kesiapan instansi pemrakarsa dan aspek krusial lainnya,” kata Kabag Peraturan Perundang-Undangan Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan, Hendry Wijaya, yang hadir pada FGD.

Bukan perkara mudah mengurai persoalan dalam Jaminan Sosial bidang Ketenagakerjaan. Paling tidak, Kementerian Ketenagakerjaan berhasil memetakan sejumlah isu diantaranya soal regulasi, kepesertaan dan pelayanan, investasi dana BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan Sosial bagi pekerja migran Indonesia, buruh harian lepas, serta pelaut nelayan. Di luar hal itu, kata Hendry, Kementerian Ketenagakerjaan kedepan akan fokus melakukan perubahan antara lain terkait PP Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, dan aturan pelaksanaan terkait program Jaminan Kehilangan Pekerjaan pada draf RUU tentang Cipta Kerja.

“Kementerian Ketenagakerjaan akan me-review lagi untuk menyesuaikan dengan dinamika di lapangan,” kata Hendry. (NNP)