Mencari Jalan Keluar Carut Marut Pengelolaan Sampah di Indonesia
Jakarta, BPHN.go.id – Pemerintah berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan pengelolaan sampah di Indonesia. Salah satu dampak dari buruknya tata kelola sampah, adalah bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah, bahkan ikut melanda wilayah yang sebelumnya belum atau tidak pernah mengalami banjir. Diperlukan upaya strategis agar persoalan sampah ini dapat segera terselesaikan.
Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto, mengatakan, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mendorong agar pengelolaan sampah dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Akan tetapi, pengelolaan sampah masih sebatas dipandang sebagai barang yang tidak berguna serta dilihat dari pendekatan akhir (end-of-pipe).
“Selain itu, banyak Peraturan Pelaksana (PP) dari UU Nomor 18 Tahun 2008 yang belum dibuat, seperti terkait pengelolaan sampah spesifik, pedoman penyusunan sistem tanggap darurat, larangan memasukkan sampah ke wilayah NKRI,  dan lain sebagainya,” ucap Kepala BPHN, dalam FGD Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi tentang Migitasi Pencemaran Lingkungan, Selasa (18/8) di Ruang Mochtar Kusumaatmadja gd. BPHN, Cililitan – Jakarta Timur. 
Di ibu kota sekalipun, potret pengelolaan sampah masih belum ideal seperti yang dimandatkan oleh UU Nomor 18 Tahun 2008. Ambil contoh, sistem pengelolaan sampah di DKI Jakarta masih menggunakan pendekatan ‘KUPANG’ atau Kumpul – Angkut – Buang. Artinya, pengumpulan sampah di tingkat Rukun Warga (RW) masih minim pengetahuan sehingga belum dilakukannya pemilahan dan pengolahan sampah oleh warga. Begitupula pengangkutan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH), yang belum mengoptimalkan upaya daur ulang serta belum ada kerja sama dengan usaha yang membutuhkan bahan baku daur ulang.
Kepala Seksi Penegakan Hukum Bidang Pengawasan dan Penataan Hukum Dinas Lingkungan Hidup, Pemprov DKI Jakarta, Hugo Efraim, salah satu narasumber dalam FGD Pokja AE Mitigasi Pencemaran Lingkungan, mengatakan, idealnya perlu transformasi pengelolaan sampah rumah tangga dengan pendekatan ‘KUPILAH’ atau Kurangi – Pilah – Olah. Artinya, kondisi sampah yang diangkut menuju Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) sudah berupa residu karena sampah sebelumnya didaur ulang dan diolah untuk dapat digunakan kembali untuk kegiatan usaha tertentu.
“Rata-rata sampah yang masuk ke TPST Bantargebang per hari mencapai 7,7 ton/hari. Artinya, satu warga Jakarta per har menghasilkan 0,7Kg sampah. Di mana 60% sampah di Jakarta berasal dari permukiman warga. Lalu, 53% sampah organik menjadi komposisi sampah yang terbesar di Jakarta. Dan anggaran Pemprov DKI Jakarta untuk penanganan sampah per tahun mencapai 1,6 Triliun,” kata Hugo.
Secara terpisah, Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Andri Gunawan Wibisana menyoroti sejumlah regulasi yang menjadi isu dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Salah satu persoalan yang ia soroti adalah mengenai ketidakjelasan target pengurangan sampah di Indonesia. Sebagai gambaran, kegiatan pengurangan sampah merupakan perwujudan prinsip pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan atau yang disebut 3R (reduce, reuse, recycle).
“Menurut PP Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) berwenang menyusun Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Sampah (KSPS) tingkat nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota,” kata Andri yang mengikuti rapat secara virtual.
Di dalam KSPS, lanjut Andri, setidaknya memuat arah kebijakan pengurangan dan penaganan sampah serta program pengurangan dan penanganan sampah. Di samping itu, bagi Pemerintah Kabupaten/Kota, mereka berwenang membuat Rencana Induk dan melakukan studi kelayakan pengelolaan sampah. Sayangnya, ketentuan di dalam PP Nomor 81 Tahun 2012 tidak mengatur lebih jelas patokan tingkat volume pengurangan sampah.
Pengaturan ini sangat jauh berbeda dengan Council Directive 1999/31/EC tentang Landfill, yang mengatur target pengurangan sampah. Dikakatan Andri, setiap Negara Uni Eropa memiliki kewajiban untuk menetapkan strategi masing-masing dalam mengurangi jumlah limbah yang masuk ke landfill yang nantinya akan dicapai melalui upaya daur ulang, pengkomposan, produksi biogas, dan perolehan kembali. 
“Di dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, target pengurangan sampah ditetapkan sebesar: 20% pada tiga tahun pertama; 30% pada lima tahun berikutnya; dan 5% kenaikannya setiap lima tahun sampai dengan tahun 2025. Perda ini tidak menjelaskan tingkat volume sampah dari tahun berapa yang dijadikan patokan,” kata Andri.
Terlepas dari hal itu, masih kata Andri, pemerintah telah berupaya optimal misalnya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (PermenLH) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah. Aturan tersebut mengenalkan soal Bank Sampah, yakni tempat pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai ekonomi. Selain Bank Sampah, PermenLH tersebut juga mengenalkan mengenai Extended Producer Responsibillity (EPR). 
Dikatakan Andri, terdapat dua aspek penting dalam EPR. Pertama, EPR berlaku sebagai take-back system, yakni sistem yang mewajibkan produsen untuk mengambil kembali produk/kemasan yang dihasilkannya, telah selesai digunakan dengan maksud untuk di recycle atau recovery atau reuse terhadap produk atau kemasan tersebut. Kedua, kewajiban produsen untuk mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. 
“Kewajiban ini dilaksanakan oleh produsen dengan menarik kembali kemasan atau produk untuk didaur ulang dan/atau diguna ulang sebagaimana Pasal 15 UU Nomor 18 Tahun 2008,” pungkas Andri. (NNP)