Kewenangan DPRD Berikan Izin Bangun Proyek Infrastruktur Perlu Dikaji

Jakarta, BPHN.go.id – Pemerintah berupaya agar pembangunan infrastruktur di Indonesia terus berjalan. Sayangnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak cukup untuk mendanai pembangunan sehingga dibuat sejumlah alternatif pendanaan misalnya dengan melibatkan peran swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau skema Pembangunan Infrastruktur Non Anggaran (PINA).

Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto mengatakan, aturan main pelaksanaan KPBU mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Aturan ini mengatur 19 jenis proyek infrastruktur yang dapat dikolaborasikan dengan pihak swasta seperti infrastruktur jalan raya, air minum, telekomunikasi, pendidikan, lembaga pemasyarakatan, kesehatan, maupun perumahan rakyat. Yang menjadi catatan, aturan ini hanya diatur peraturan setingkat Perpres. 

“Perlu disusun peraturan setingkat dengan undang-undang. Hal ini tentunya sangat menyulitkan dalam pelaksanaanya karena mengatur lebih banyak sektor dalam pemerintahan,” kata Kepala BPHN dalam FGD Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi (AE) terkait Pembiayaan Infrastruktur, Rabu (26/8) di gedung BPHN, Cililitan – Jakarta Timur. 

Hal tersebut diamini oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Peneliti PSHK Muhammad Faiz Aziz mengatakan, sangat disayangkan payung hukum pelaksanaan KPBU hanya berstatus Perpres. Padahal, berdasarkan hasil penelusurannya, ditemukan 168 regulasi terkait pembiayaan infrastruktur dari masa ke masa. Namun, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 yang menjadi leading regulation terkait pelaksanaan KPBU.

“Regulasi pembiayaan infrastruktur sebaian besar ada pada level di bawah undang-undang,” kata Aziz, yang mengikuti FGD secara virtual.

Sekalipun payung hukum KPBU hanya setingkat Perpres, Kasubdit Rancang Bangun II Direktorat Kerjasama Pemerintah-Swasta Rancang Bangun pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Novie Andriani mengatakan, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 sudah cukup sebagai dasar hukum pelaksanaan KPBU. Hanya saja, pelaksanaan regulasi tersebut yang perlu diharmonisasi dengan regulasi lainnya.

“Perlu harmonisasi regulasi dan pelaksanaan KPBU dengan regulasi di bidang jasa konstruksi, regulasi pemanfaatan BMN dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur (KSPI), regulasi kerja sama daerah, dan regulasi yang sifatnya sektoral,” kata Novie.

Novie mencontohkan, regulasi yang tidak harmonis salah satunya terkait dengan kewajiban penyediaan rumah susun untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan, penyediaan rumah untuk MBR adalah kewenangan pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR). Namun, jika merujuk ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, tidak dinyatakan dengan jelas mengenai kewenangan penyediaan rumah susun.

“Hal ini berpotensi menghambat penyelenggaraan KPBU pembangunan rumah susun untuk MBR,” kata Novie.

Selain itu, Novie mencontohkan ketidakharmonisan aturan terkait Kerja Sama Daerah Dengan Pihak Ketiga (KSDPK) yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah. Dalam pelaksanaannya, Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dibuat khawatir proyek KPBU daerah akan terhambat karena masih ada penafsiran bahwa KSDPK sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2018 harus mengantongi persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Padahal, skema KPBU sebagaimana Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tidak mencakup hingga ke KSDPK.

“Sedangkan persetujuan DPRD tidak mudah untuk didapatkan. Terdapat beberapa proyek yang terhambat karena sulit memperoleh persetujuan DPRD,” kata Novie.

Senada dengan Novie, Kepala Seksi Peraturan dan Penelaahan Dokumen Direkorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Canggih Puspitasari mengatakan, perlu harmonisasi kebijakan antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah demi kelancaran proses penyiapan dan transaksi proyek KPBU. Persoalan di lapangan, sulit sekali untuk mendapatkan persetujuan DPRD terkait proyek KPBU daerah yang menimbulkan kewajiban finansial bagi Pemerintah Daerah.

“Untuk beberapa kasus terutama untuk daerah yang hubungan Pemerintah dan DPRD nya kurang harmonis, Pemerintah Daerah kesulitan untuk mendapatkan izin dari DPRD tersebut sehingga menghambat proses pelaksanaan skema KPBU dimaksud,” kata Canggih. (NNP)