BPHN.GO.ID – Jakarta. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi turut membawa implikasi bagi dunia penyiaran di Indonesia. Namun pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ditandai dengan kemunculan media-media penyiaran baru tersebut belum terakomodir dalam regulasi penyiaran yang ada.
Kepala BPHN, Prof. R. Benny Riyanto dalam kegiatan Focus Group Discussion terkait penyiaran di Badan Pembinaan Hukum Nasional (27/8) mengemukakan hal tersebut dalam sambutannya. Pengaturan terkait penyiaran saat ini tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan, utamanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan peraturan pelaksananya. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan kemunculan media-media baru, banyak pihak memandang sebagian substansi Undang-Undang Penyiaran dan peraturan turunannya sudah kurang mengakomodir perkembangan teknologi saat ini . “Ketika Undang-Undang Penyiaran disahkan pada 2002, definisi penyiaran dan lembaga penyiaran yang ditetapkan masih sangat kaku dan butuh penyesuaian mengikuti perkembangan yang ada,” ungkap Kepala BPHN.
Sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Kepala BPHN, Deddy Risnanto, anggota Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) juga mempersoalkan pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, khususnya terkait definisi penyiaran yang dirasa sudah ketinggalan zaman. Jika melihat perkembangan teknologi informasi khususnya media multi platform yang ada saat ini, maka definisi penyiaran yang ada saat ini tidak bisa mengakomodir perkembangan yang ada, dimana sarana untuk mendistribusikan informasi bisa melalui media multi platform seperti Instagram, Youtube, Twitter, Whatsapp dan lain-lain. “Ciri penyiaran masa depan dan konvergensi media multi platform ditandai dengan tumbuhnya media baru (new media sosial). Persaingan bukan lagi antara TV/Radio vs. TV/Radio, melainkan persaingan antara industri penyiaran tradisional (TV dan radio) vs industri penyiaran masa depan (media sosial – internet – Layanan Over The Top) dan semua orang dapat membuat medianya sendiri, sesuai keinginannya sendiri (Industri vs Individu),” ujarnya .
Pembahas lain, Geryantika Kurnia, Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, menekankan perlu ada percepatan transformasi digital. Dalam menjalankan arahan Presiden terkait transformasi digital, salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI adalah dengan digitalisasi penyiaran televisi terestrial dengan cara pemanfaatan kembali digital dividend. “Penundaan analog switch off (ASO) akan berdampak pada inefisiensi industri penyiaran yang berkepanjangan dan kehilangan momentum daya saing ekonomi digital, tertinggal dengan negara-negara tetangga dalam memanfaatkan internet broadband 5G,” ujarnya. Selain permasalahan terkait perkembangan dunia penyiaran, FGD ini juga mendiskusikan kewenangan lembaga pengawas siaran, implementasi regulasi penyiaran di lapangan, serta arah pembaharuan regulasi terkait penyiaran kedepan dengan mengundang beberapa stakeholder terkait yaitu Direktur Penyiaran Kemenkominfo, Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Jaringan Radio Komunitas (JRKI), dan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) (*HS)