KEPALA BPHN MEMBERI CATATAN KRITIS ATAS  GARIS BESAR HALUAN IDEOLOGI PANCASILA

(Bali, 5/11) Catatan kritis kepala BPHN, Prof. Benny Riyanto disampaikan pada Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Sinkronisasi dan Koordinasi Naskah Kajian Penyusunan Dasar Hukum Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila, yang diselenggarakan BPIP di Hotel Le Meridian Jimbaran Bali pada  4-6 November 2019.

Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila (GBHIP) merupakan rumusan Pedoman Pancasila untuk seluruh elemen masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan rumusan pedoman dalam menyusun, menjalankan dan mengawasi kebijakan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan sebagai implementasi dari pembumian nilai-nilai Pancasila.

Prof. Benny menyampaikan bahwa BPHN sudah sejak awal memegang teguh Pancasila sebagai pijakan utama dalam melaksanakan tugas pembinaan hukum. Sejak masa Orde Baru, Orde Reformasi, hingga saat ini, BPHN selalu mengingatkan bahwa pembangunan hukum harus mencerminkan landasan Ideal serta basis filosofis  negara dan tertib hukum Indonesia, yaitu Pancasila.

Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber dari segala sumber hukum Negara (Pasal 2 UU 12/2011 sebagaimana telah direvisi dengan UU 15/2019). Oleh karena itu maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila. Hal ini semakin memperkuat amanat Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 (jo Ketetapan MPR No.V/MPR/1973, jo Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978) yang menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara atau sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia.

Peran BPHN dalam mewujudkan pembentukan regulasi yang Berkarakter Pancasila, di antaranya adalah dengan menyusun Grand Design Pembangunan Hukum Nasional; melakukan penyelarasan Naskah Akademik; dan melakukan analisis dan evaluasi hukum. Hal ini merupakan bagian dari upaya konkrit melaksanakan amanat TAP MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN bahwa politik pembangunan hukum nasional diarahkan untuk mengganti seluruh produk hukum kolonial.

Berbagai inovasi terus dilakukan oleh BPHN dalam rangka penguatan ideologi Pancasila. Dalam proses pasca legislasi, BPHN menyusun Pedoman 6 Dimensi Analisis dan Evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan.  Dalam pedoman tersebut, Dimensi Pancasila merupakan dimensi yang utama dan memiliki bobot penilaian yang paling besar. Analisis pada Dimensi Pancasila bertujuan untuk melakukan penilaian sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila dalam Pancasila.

Perlu dipahami bahwa hukum di Indonesia tidak hanya peraturan perundang-undangan, tetapi juga yurisprudensi, preceden, hukum tidak tertulis, kebiasaan yang tumbuh dan hidup di masyarakat, serta konvensi Internasional yang diratifikasi. Sehingga Pancasila harus menjadi barometer dari segala sumber hukum yang ada tersebut.

Penguatan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara  harus ditindak lanjuti tindakan di dalam pembentukan materi hukum, penguatan kelembagaan dan pengembangan budaya hukum. Di bidang pembentukan produk hukum oleh Pemerintah  Pusat maupun Pemerintah Daerah, Lembaga Peradilan (Putusan Pengadilan), maupun Lembaga Adat (hukum yang hidup di masyarakat), Pancasila harus dijadikan sebagai batu uji tertinggi materi hukum di Indonesia. Keberlakuan hukum internasional yang diberlakukan di Indonesia (melalui Konvensi yang diratifikasi), Pancasila harus ditempatkan sebagai sebagai pembatas nilai agar keberlakuan hukum internasional tetap sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila.

Perlu diperhatikan juga bahwa materi hukum, kelembagaan hukum, dan budaya hukum, harus dilengkapai sarana dan prasarana hukum (sistem hukum nasional  UU 17/2007)  seperti penggunaan teknologi informasi di era 4.0 menuju 5.0 dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Pancasila.

(van)