Bekasi, BPHN.go.id – Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM tengah mengevaluasi sejumlah peraturan perundang-undangan berkaitan penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi sementara, ditemukan berbagai isu krusial yang menyulitkan Aparat Penegakan Hukum memberantas praktik korupsi apalagi praktik itu lazim dilakukan oleh ‘orang-orang penting’ atau Politically Exposed Person (PEP). Hal itulah yang dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Evaluasi Pengaturan dan Efektivitas Penegakan Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi”, Kamis (10/8) di Bekasi – Jawa Barat.

 

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmy mengatakan sistem peradilan pidana terutama berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi (Tipikor) belum berjalan dengan optimal. BPHN melalui Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Tipikor, menilai evaluasi regulasi berkenaan dengan hal tersebut mendesak dilakukan. Pasalnya, praktik tipikor merugikan keuangan negara, menghambat pertumbuhan sekaligus kelangsungan pembangunan nasional.

 

“Hasil evaluasi sementara yang ditemukan oleh Pokja adanya ketidaksamaan standardidasi penanganan Tipikor oleh KPK, Kepolisan dan Kejaksaan, dan permasalahan dalam hal efektivitas pelaksanaan pembuktian terbalik dalam perkara tipikor,” kata Yunan.  

 

Dalam FGD tersebut, dua narasumber sependapat mengenai perlunya dilakukan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan untuk mengoptimalisasikan penegakan hukum di bidang tipikor. Advokat Senior sekaligus Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) RBA, Luhut MP Pangaribuan dan Guru Besar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, Topo Santoso memiliki catatan kritis berkaitan dengan tantangan dalam penegakan hukum acara tipikor.

 

Dalam pandangan Luhut, pelaku tipikor yang didominasi oleh politically exposed person atau orang-orang yang memiliki kewenangan penting menyulitkan penegakan hukum karena sulit melacak atau mengumpulkan bukti kejahatan. Di tambah lagi, independensi Aparat Penegak Hukum (APH) masih menjadi persoalan karena munculnya konflik kepentingan (conflict of interest) yang mengakibatkan peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) belum terwujud hingga saat ini.

 

“Kecenderungan dalam penegakan hukum masih to have more (kekuasaan) lebih menonjol daripada to be more (keadilan),” ungkap Luhut.

 

Soal dominasi politically exposed person, Topo Santoso juga melihat pengaruh kekuasaan di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif menimbulkan praktik judicial corruption. Permasalahan lainya yang disoroti adalah mengenai Pengadilan Tipikor. Pengadilan yang mestinya menjadi benteng pertahanan diterpa isu soal kualitas hakim yang memeriksa. Menurutnya, pangkal persoalannya berada pada rekrutmen hakim ad hoc Tipikor, di mana soal kualitas keilmuan dan profesionalitas masih jauh dari harapan.

 

“Perekrutan diikuti berbagai kalangan namun dalam konteks kapasitas ilmu hukum maupun profesionalitas tidak sesuai dengan ekspektasi. Meskipun sudah pernah gagal mengikuti tes perekrutan hakim ad hoc Tipikor, banyak dari para peserta yang seringkali mengikuti ulang tes tersebut,” papar Topo.

 

Sebagai informasi, kegiatan FGD kali ini bagian dari rangkaian kegiatan Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Ketua Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Mengenai Penegakan Hukum Tipikor, Tongam R. Silaban menyebut sasaran analisis dan evaluasi diharapkan menghasilkan peraturan yang berjiwa Pancasila dan efektif dan efisien dalam implementasinya.

 

“FGD ini juga diharapkan dapat memperoleh data dan informasi mengenai efektivitas, serta permasalahan substansi dan kelembagaan penegakan hukum acara tindak pidana korupsi,” kata Tongam.