Jakarta, Humas  BPHN

Kepala Pusat Analisa dan Evaluasi Hukum, Pocut Eliza, S.Sos, SH., MH membuka Forum Diskusi dengan tema Tata Kelola Air untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Kegiatan yang berlangsung di Aula Mudjono  kantor BPHN tersebut atas kerjasama Pusat Analisa dan Evaluasi Hukum  dengan Yayasan Lestari Indonesia dan di fasilitasi oleh Australia Aid dan OXFAM. Yang dihadiri oleh Lima belas Institusi Kementerian dan Lembaga non Kementerian, Akademisi serta Lembada Swadaya Masyarakat pemerhati Sumber Daya Air, Rabu (16/3).

Tema yang diangkat tersebut merupakan hal penting mengingat air merupakan sumber kehidupan bagi bumi dan penghuninya. Dalam forum internasional telah terjadi pembicaraan-pembicaraan secara global terkait dengan krisis air ini. Seperti pertemuan di Denhaag  tahun 2000 disimpulkan bahwa krisis air di dunia termasuk Indonesia disebabkan tidak adanya tata kelola air, selanjutnya pertemuan di Afrika Selatan tahun 2002 menyepakati prinsip tata kelolaan terpadu tentang sukber daya air. Begitu juga yang terjadi di Indonesia terjadi konflik antara pusat, daerah dan masyarakat serta masyarakat sesama masyarakat, masyarakat dengan pengusaha juga masyarakat dengan sektor. Kerusakan ini bukan terjadi oleh pengelolaan air melainkan oleh sektor-sektor tersebut. Pada tahun 2012 diajukan Jucial Review UU No. 7 tahun 2004.  Dalam putusan MK tersebut dikatakan bahwa UU No. 7 tahun 2004 bertentangn dengan UUD Kemudain UU tersebut tidak memiliki hukum mengikat sehingga secara kesluruhan tidak berlaku lagi dan UU No 17 tahun 1974 berlaku kembali. Sementara UU No. 17 Tahun 1974 ini, pada dasarnya berbeda prinsif dengan UU No. 7 tahun 2004 sehingga ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusaha Sumber daya air dan PP No. 122 Tahun 2015 tentang sistem Penyediaan Air Minum serta  Penyediaan Air demudian dilengkapi PP No. 40 tentang 2015 tentang Penyerahan air bersih yang dibebaskan dengan pertambahan nilai.

Kepala BPHN, Prof. DR. Enny Nurbaningsih, SH., MH, dalam paparannya, mengatakan bahwa apa yang akan dibacarakan ini merupakan salah satu kebutuhan yang merupakan keniscayaan yang harus segera dilakukan, hal ini sesuai dengan progam NAWACITA, bagaimana keberpihakan dan keharusan negara hadir dalam kondisi dimana masyarakat membutuhkan. Salah satu kebutuhan tersebut adalah mengenai pengaturan penataan tata kelola air.

Lebih dari, presiden mengintruksikan khusus kepada kementerian yang punya tusi tersebut untuk melakukan penataan seluruh peraturan perundang-undangan yang dianggap menimbulkan masalah termasuk dalam penataan pemerintahan.

Saat ini, BPHN telah mempunyai Pusat Analisa dan Evaluasi Hukum, dalam tusinya menganalis hukum tertulis maupun tidak tertulis. Dan sat ini yang harus segera dibenahi adalah hukum tertulis yang terkait dengan berbagai putusan MK. Untuk itu BPHN telah melakukan pengiriman surat kementerian lembaga terkait untuk segera merespon dalam kaitannya dengan segala produk peraturan perundang-undangan yang dianggap menjadi gangguan dalam pelaksanaan tusi dari lembaga masing-masing.

Perlunya tata kelola air secara ideal yang teritegrasi untuk kemakmuran rakyat. UU No. 7 tahun 2004 sangat menyedihkan yang di berlaku lagi, maka untuk mengisi kekosongan undang-undang tersebut maka kembali pada UU No. 74 tahun 1974. Dan UU tersebut jika di telaah lagi tentu paradigman sudah tidak cocok dengan perkembangan-perkembangan terkini. Problemnya adalah UU-nya sangat sentralistik baik dari sisi kelembagaannya maupun dari sisi kewenangannya, yang akhirnya membuat pusing bagi daerah dalam penataan pengelolaan sumber daya air. Dalam kaitan hal tersebut, BPHN telah berdiskusi dengan Kementerian Pekerjaan Umum tentang pembentukan hukum kedepan, ujar Ka. BPHN *tatungoneal