Dirgahayu Hari Ibu Ke 89

Jakarta, WARTA-bphn

Kementerian Hukum dan HAM memperingati Hari Ibu  Ke-86. Upacara tersebut dilaksanakan di Arena upacara Kementerian Hukum dan HAM, Jl. HR. Rasuna Said Kuningan – Jakarta, Senin (22/12). Yang di hadiri oleh pegawai dilingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Bertindak sebagai Inspektur Upacara Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Enny Nurbaningsih. Dalam amanatnya Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional menyampaikan pada kepada seluruh peserta upacara untuk mengenang dan sekaligus menghargai perjuangan kaum perempuan turut serta berjuang dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Tonggak sejarah perjuangan kaum perempuan di Indonesia diselenggarakannnya Kongres Perempuan I di Jogjakarta tanggal 22 Desember 1928.  Dalam konteks kekinian, pelaksanaan peringatan hari Ibu merupakan bentuk pengakuan bahwa perjuangan kaum perempuan Indonesia telah menempuh jalan panjang dalam mewujudkan peranan dan kedudukan perempuan Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia yang aman, tentram dan damai serta adil dan makmur.

Lebih tandas beliau sampaikan “bahwa peringatan Hari Ibu tidak hanya untuk menghargai jasa-jasa perempuan sebagai seorang ibu, tetapi juga jasa perempuan secara menyeluruh, baik sebagai ibu dan istri maupun sebagai warga negara,  masyarakat dan abdi  Tuhan Yang Maha Esa, serta sebagai pejuang dalam merebut, menegakkan dan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan nasional”.

Selain itu tema yang diusung pada peringatan hari Ibu tahun ini “Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Menuju Indonesia Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”. Sejalan dengan program “Nawa Cita” Presiden Joko Widodo yang menjadi dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, jelas beliau.

Dikatakan juga, bahwa perempuan Indonesia terus menerus tertantang untuk memperjuangkan hak-haknya agar mendapat pengakuan yang sama seperti kaum laki-laki di berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali di bidang hukum dan politik, antara lain bagaimana memperoleh kedudukan dan jaminan yang sama di muka hukum, menentukan keputusan-keputusan politik mulai dari tingkat rumah tangga hingga kehidupan politik kemasyarakatan, memperoleh akses yang sama kepada keadilan (access to justice) dan perlindungan terhadap hak-hak asasinya.

Disadari pada kenyataannya sistem politik dan hukum, baik rumusan, struktur maupun budayanya yang eksis di masyarakat masih belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan kaum perempuan. Perempuan dikontruksikan oleh sebagian masyarakat patriarkhi  sebagai warga negara kelas dua, yang hak-haknya dikebiri atas nama berbagai kepentingan.

 

Dan secara historis, perempuan baru diakui sebagai subjek hukum melalui UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 (UUP). Sebelumnya, perempuan harus diwakili suara dan keputusannya oleh suaminya dalam hal yang berkaitan dengan urusan di luar rumah tangga termasuk untuk mengurusi harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105 BW).          Perempuan dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan bila melakukan perbuatan hukum harus di bawah pengampuan suaminya (laki-laki).  UUP telah mengoreksi kondisi tersebut melalui ketentuan Pasal 31 ayat (1). Meskipun demikian UUP  masih menyisakan persoalan bagi kaum perempuan, karena membakukan peran gender atau peran stereotype  perempuan sebagai makhluk domestik dan tergantung secara ekonomi kepada suaminya (Pasal 31 ayat (2)  dan Pasal 34 ayat (1) dan (2)). Ketentuan ini perlu kiranya ditinjau kembali agar tidak  diskriminatif terhadap perempuan.

Perjuangan perempuan untuk menentang diskriminasi mendapatkan momentumnya ketika pemerintah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), melalui UU No.7 Tahun 1984 yang mengakui persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Persamaan tidak hanya pada akses terhadap  HAM tetapi juga persamaan terhadap manfaat atau pada hasilnya (equality of acces, equality of opportunity and equality of result). Sehingga bentuk-bentuk affirmative action bagi perempuan bukanlah bentuk diskriminasi, tetapi kekhususan yang harus ditempuh  untuk menjamin manfaat dan hasil yang sama mengingat situasi atau konteks yang berbeda yang harus dipertimbangkan.

Tantangan penegakkan hak konstitusional warga negara merupakan tantangan bagi penegakan hak konstitusional perempuan yang harus melibatkan semua komponen bangsa. Ketentuan konstitusional yang diwujudkan melalui seperangkat aturan hukum dan kebijakan harus dipatuhi dan dilaksanakan.

Setiap perempuan Warga Negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu undang-undang, atau tidak mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, tentu dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi.

Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menegakan hak konstitusional perempuan, adalah menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini semakin penting karena kendala yang dihadapi selama ini memiliki akar budaya dalam masyarakat Indonesia.  Akar budaya tersebut melahirkan dua hambatan, pertama, adalah dari sisi perempuan itu sendiri; dan kedua, dari masyarakat secara umum. Walaupun telah terdapat ketentuan yang mengharuskan mempertimbangkan prinsip kesetaraan jender dalam pimpinan partai politik misalnya, namun hal itu sulit dipenuhi salah satunya karena sedikitnya perempuan yang aktif di dunia politik. Demikian pula dengan pemenuhan kuota 30% dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Sebaliknya, sering pula terjadi, seorang perempuan yang layak dipilih atau diangkat untuk jabatan tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena dinilai perempuan mempunyai kelemahan tertentu dibanding laki-laki.

Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak cukup untuk memastikan tegaknya hak konstitusional tersebut. Peraturan perundang-undangan harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif jender serta yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan budaya yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya tertentu bukanlah hal yang mudah,  bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya setempat, merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.

Selain harus mampu mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan menuju Indonesia berdaulat, mandiri dan berkepribadian di lingkungannya, insan Kementerian Hukum dan HAM juga harus mejadi motor penggerak untuk mewujudkan hal tersebut di lingkungannya. Hal tersebut sangat penting untuk dipedomani mengingat besarnya sumber daya yang dimiliki oleh Kementerian Hukum dan HAM, yaitu adanya kelembagaan Kantor Wilayah di tiap-tiap provinsi dan juga Unit Pelaksanan Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada konteks yang lebih besar, dengan semangat hari Ibu ke-86, Kementerian Hukum dan HAM harus dapat berkontribusi  dalam tujuan pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang maupun Millenium Development Goals (MDGs) Tahun 2015 yang akan datang.

Akhiri sambutannya beliau menyajak peserta upacara untuk merenungi dan kemudian wujudkan slogan peringatan hari Ibu ke-86 tahun ini:

Perempuan maju, Indonesia sejahtera;

Perempuan dan laki-laki setara, pembangunan berkelanjutan; 

Keluarga harmonis, Indonesia kuat; Keluarga sehat, ekonomi kuat;

Keluarga berkualitas, Indonesia mampu berdaya saing dan mandiri;

Perempuan terlindungi haknya, Indonesia  bermartabat dan berkepribadian.