Meutia Farida Hatta Swasono, puteri sulung Proklamator Mohammad Hatta Wakil Presiden RI pertama, adalah sosok dari Kartini-Kartini Indonesia yang saat ini memangku Jabatan Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Memahami peradaban bangsa, menurutnya kita berbicara mengenai bangsa kita yang multi etnis dan multi kultural. Nyatanya keberagaman etnis, suku, bahasa, budaya dan agama ini telah menoreh catatan sejarah terhadap tantangan terhadap dimensi keamanan, ketertiban maupun harmonisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Munculnya konflik-konflik horisontal maupun vertikal yang terjadi antara lain karena ketidaksiapan kita dalam berbagai perbedaan, maupun disebabkan perilaku yang tidak adil dan diskriminatif atas dasar keberagaman itu sendiri. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial, penderitaan dan kesengsaraan yang melanggar hak asasi manusia. Bahkan, perkembangan global yang menghembuskan isu hak asasi manusia, demokratisasi dan lingkungan hidup menambah deretan panjang persoalan yang multi dimensi dan berpengaruh terhadap pembangunan peradaban bangsa kita.
Lalu pertanyaannya, apa kaitannya terhadap kepercayaan kepada Tuhan YME ? Sangatlah jelas, kata Deputi ini, bahwa penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai komunitas yang minority di tengah komunitas beragama yang majority, tentu ada kerentanan perlakuan diskriminasi maupun pengakuan masyarakat bagi kelembagaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Dari persfektif hak asasi, mereka memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dengan cara sendiri untuk memuja Tuhannya. Saya kira ekspresi menyalurkan keyakinan dan pemujaan kepada Tuhan YME, sejauh mereka tidak menganggu lingkungan, tidak memaksa orang, tetapi bisa mengajarkan nilai-nilai kebaikan mengapa tidak dihargai.
Lagi pula, amandemen UUD Negara kita dalam pasal 28 E tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Kemudian dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22 ayat (1) menyebutkan pula bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Justru itu, saling mengormati dalam keberagaman itu akan membuat bangsa kita bermartabat, tuturnya.
Pembinaan, pengembangan dan pelestarian kepercayaan terhadap Tuhan YME dari perspektif penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia merupakan simbiosis mutualistik untuk mendorong peran komunitas kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka tugas kami melalui institusi ini mempasilitasi pengembangan nilai-nilai luhur ajarannya ke dalam partisipasi membangun peradaban bangsa untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban bangsa-bangsa di dunia.
Demikian sekelumit komentar DR. Meutia Farida Hatta Swasono,SS,MA kepada Reporter Majalah Hukum dan HAM di ruang kerjanya di Komp. Gedung Diknas Blok E Lt 4 Jl. Jend. Sudirman Jakarta. (27/5/04).
Lebih lanjut wanita kelahiran Yogyakarta, tanggal 21 Maret 1947 ini bicara soal misinya, ia berkomentar sangat sederhana. Saya orang biasa, hanya mencoba mengekspresikan pemikiran-pemikiran orang tua saya. Sebagai demokrat sejati Bapak sanagat memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat, kepeduliannya membangkitkan semangat kebangsaan untuk bersatu padu membangun martabat bangsa kita. Sikap Bung Hatta amat jelas bahwa almarhum selalu menanamkan nasionalisme dan kedaulatan dalam politik dan ekonomi. Ada satu benang merah pemantapan dan konsistensi dari beliau sampai akhir khayatanya. Almarhum sangat menghargai keberagaman dan melihatnya sebagai aset bangsa, bukan semata hanya sebagai kumpulan orang-orang yang berbudaya dan berbeda agama. Melainkan dengan memiliki berbagai kelebihannya itulah yang menurut orang tua saya perekat permersatu melalui pembinaan budaya (Culture State). Artinya menurut wanita yang menyandang gelar Doktor Antropologi ini bahwa, hal ini yang akan membentuk suatu negara berbudaya yang terikat dalam symbol Bhinneka Tunggal Ika.
Ia menuturkan ketika tanggal 23 Desember 2003 ditawari Jabatan Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Negara BUDPAR, pertanyaan yang mengganjal di hatinya adalah, apa yang dapat saya sumbangkan melalui institusi ini untuk sebuah perekat perbedaan itu dalam kebersamaan nilai-nilai luhur kebangsaan? katanya. Barangkali saja, masih banyak di antara kita yang tidak memahami nilai-nilai kepercayaan terhadap Tuhan YME, maka pada kesempatan inilah mari kita memahami makna keberagaman itu ucapnya kepada Reporter Hukum dan HAM.
Local Wisdom
Semenjak dahulu bangsa kita mengakui dan memiliki kepercayaan terhadap Tuhan YME. Kepercayaannya itu diekspresikan dalam berbagai bentuk ritual peribadatan. Bentuk kepercayaan ini dikenal dengan nama kebatinan, kerohanian dan kejiwaan. Masyarakat kepercayaan terhimpun dalam wadah paguyuban, perguruan, persaudaraan atau kelompok. Dalam catatan kami, saat ini ada 245 organisasi yang berstatus pusat di 15 propinsi dari 980 organisasi yang berstatus cabang yang tersebar di 24 propinsi.
Dialog Budaya Spiritual Tahun 1999 merumuskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan YME sebagai Pernyataan dan Pelaksanaan Hubungan Pribadi dengan Tuhan YME berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan terhadap Tuhan YME atau peribadatan serta pengalaman budi luhur. Sehingga ada 3 (tiga) ciri pokok dari rumusan tersebut yaitu pertama, keyakinan adanya Tuhan YME; kedua, perilaku ketaqwaan; dan ketiga, pengalaman budi luhur.
Wanita karir yang masih berstatus dosen UI ini mengatakan bahwa dalam setiap budaya yang beraneka di Indonesia terdapat apa yang kita sebut istilah Local Wisdom yaitu kearifan budaya setempat yang mengandung nilai-nilai luhur baik nilai religius, nilai moral dan nilai sosial. Saya yakin, itu belum diketahui oleh kebanyakan masyarakat kita ujarnya. Padahal, menurutnya bahwa nilai-nilai luhur tersebut selain bermanfaat bagi penganutnya juga bermanfaat sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka memperkokoh jati diri dan integritas bangsa.
Local Wisdom ini yang menurutnya mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan sesama manusia dan seisi alam semesta. Kearifan ini dituangkan dalam berbagai cara dalam bentuk ajaran verbal, ritual, maupun perilaku harian (cultural habit). Meskipun berlainan tetapi isinya sama bersimbiosis mutualistis dengan lingkungan dan sesama hidupnya. Jadi, perbedaan satu sama lain terletak pada cara mewadahinya saja kata putri Bapak Koperasi RI.
Implementasi HAM
Memahami nilai-nilai kearifan yang saya sebutkan, hubungannya sangatlah relavan dengan nilai-nilai hak asasi manusia katanya menjawab pertanyaan reforter.
Hak asasi manusia sebagai kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan YME, kan tidak boleh ada perlakuan diskriminasi katanya. Sementara, kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah budaya spiritual berunsur tuntunan luhur dalam perilaku yang dihayati penganutnya dengan hati nurani dan kesadaran dan keyakinannya untuk mencapai kesejahteraan dan purnaan hidup. Oleh karena itu negara wajib membina, melestarikan dan memberikan perlindungan sebagai bagian kebudayaan masyarakat.
Istri Sri Edi Swasono ini merasa terhormat dan menghargai momentum berdialog dengan Reporter Majalah Hukum dan HAM. Karena, dengan sendirinya media ini turut melakukan sosialisasi yang nyata mendukung program pelestarian kebudayaan nasional. Sebagai media yang bertema hukum dan hak asasi manusia tentunya wacana ini akan semakin memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa komunitas kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah warga bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai sesama warga bangsa yang dijamin dan diperlakukan sama di muka hukum dalam rangka pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.
Ia mengatakan bahwa hak asasi manusia sebagai kebebasan untuk mengekspresikan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang sejalan dengan nilai-nilai local dan cultural bangsa kita. Bukan berdasarkan kepentingan bangsa lain.
Kadang bangsa lain mangatakan ini masalah hak asasi manusia, tetapi sebetulnya hanya untuk menguntungkan mereka. Tetapi sewaktu terjadi apa-apa terhadap kita, tidak ada yang membela. Misalnya, hak asasi nelayan dibidang privation pulau yang dijadikan resort turisme, dimana nelayan kita tidak dapat melewatinya. Sementara nelayan asing seakan bebas, lalu hak asasi manusia yang mana yang dipakai kata peneliti kemasyarakatan yang pernah melakukan penelitian terhadap kehidupan nelayan di Pantai Utara Jakarta tahun 1994. Salah satu dari tidak kurang sejumlah 108 hasil penelitian ilmiah sejak tahun 1980. Dimuat dalam berbagai terbitan media catak maupun disampai dalam berbagai forum ilmiah.
Maka ia menyarankan agar birokrasi terutama Pemda jangan sampai melupakan hak hidup nelayan kita. Saya tidak menuduh lho ujarnya. Semata-mata hanya sebagai warning, agar pemerintah selalu waspada terhadap perlindungan hak-hak dasar warga masyarakatnya.
Yang menarik komentar dari titisan putri Proklamator ini adalah, menurutnya aspek budaya kita kaya akan kearifan-kearifan local. Kearifan local ini bersumber dari pengetahuan masyarakat. Hal ini ada kaitannya dengan HKI katanya menjawab pertanyaan reforter tentang hubungan kerjasama institusi yang dipimpinnya dengan unit kerja Departemen Kehakiman dan HAM. Ia merasakan mampaat kerjasama dengan HKI ketika mendapat kesempatan ikut dalam pertemuan WAIPO. Ternyata asset bangsa yang bersumber dari kearifan budaya dapat menjadi bahan informasi kepada HKI dibidang tehnologi knowledge. Bagaiman caranya kita berupaya memberikan perlindungan terhadap communal property dan intelektual property dari karya-kaarya budaya dan pengetahuan local (traditional knowledge) itu sebagai hasil kearifan local. Demikian juga mengenai fochlor maupun cerita-cerita rakyat yang sesungguhnya mengandung falsafah, mantra-mantra penyembuhan yang berkhasiat dan masih dipercaya. Bahkan masih terpelihara hidup ditengah masyarakat kita. Ia memisalkan pengetahuan tradisional yang bersenyawa antara berbagai bahan-bahan yang menghasilkan warna, seringkali hal itu bernilai tinggi dan komersial, misalnya kerajina batik. Jangan sampai kemudian cepat-cepat orang asing belajar dan mengakui, kemudian mendaftarkannya sebagai hak cipta atau patennya.
Jadi menurut saya hasil karya budaya yang kami lestarikan melalui institusi ini berada pada posisi hulu yang membina, melestarikan dan mengembangkan. Sementara HKI berada ditengah memberikan rambu-rambu hukum perlindungan terhadap karya-karya intelektual dibidang kebudayaan.
Mengakhiri perbincangan dengan Meutia yang ahli peneliti ini, menyampaikan harapannya agar ada kerjasama yang sinergis dibidang hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan JME maupun dibidang perlindungan hukum terhadap hasil-hasil karya tradisional sebagai merupakan aset budaya bangsa yang memiliki nilai ekonomis. (BB,Ria,Gon,Dud)