Denpasar, BPHN.go.id - Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka menjaring data dan informasi, sebagai masukan bagi Pokja  Analisis dan Evaluasi Hukum. FGD ini dilaksanakan oleh tiga Pokja, yaitu Pokja Penguatan Ideologi Pancasila, Pokja Pemberdayaan Hukum Tidak Tertulis, dan Pokja Tata Kelola Pemerintahan di Hotel Grand Inna Kuta - Bali, Rabu (27/3).

Kegiatan ini melibatkan sekitar tiga puluh orang stakeholder, sebagai pembahas makalah di tiap-tiap pokja. Masing-masing pembahas menyampaikan makalahnya, yang dibagi menjadi tiga sesi. Pada sesi pertama, diawali dengan sambutan dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, Sutrisno S.H., M.H., dan diikuti dengan paparan dari Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Prof. Benny Riyanto, mengenai kebijakan analisis dan evaluasi hukum di daerah.

Bahasan yang mengemuka dari FGD sesi Penguatan Ideologi Pancasila di antaranya, Pancasila masih perlu diarusutamakan dalam setiap penyusnan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, indikator internalisasi nilai-nila sila pertama Pancasila perlu di disempurnakan lagi, dalam Pedoman Analisis dan Evalusai Hukum. Bertindak sebagai narasumber pada Pokja ini adalah Prof. I Made Arya Utama, Dekan fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pokja Pemberdayaan Hukum Tidak Tertulis, secara umum Prof. I Wayan Windia, menarik benang merah, bahwa masih terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak mengakomodir hukum tidak tertulis yang berlaku di Bali. Menurut Prof. I wayan yang bertindak sebagai narasumber Pokja ini, hukum tidak tertulis di Bali tidak cukup hanya diakui dan dihormati sebagaimana tertera dalam Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945, namun perlu dilestarikan, dikuatkan serta diberdayakan. Perlakuan yang sama juga perlu dilakukan pada hukum tidak tertulis di daerah lain.

Sementara Pokja Tata Kelola Pemerintahan, isu yang mengemuka di antarnya, adanya urgensi untuk mengevaluasi Perda-Perda tentang Pelayanan Publik. Hal ini dibutuhkan karena sebanarnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah mengatur secara umum dan rinci yang sebenarnya dapat dioperasionalkan sampai ke tingka kabupaten/Kota. Untuk itu perlu dianalisis, unsur-unsur pelayanan publik mana yang dapat diatur pada level Perda, dan mana yang cukup diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 saja. Hal yang sama dikemukakan oleh Ketua Ombudsman RI perwakilan Provinsi Bali, Umar Ibnu Alkhatab, bahwa banyak perda yang yang sebenarnya tidak perlu diterbitkan, karena sejatinya telah diatur secara umum oleh peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang dapat dioperasionalkan di daerah. “Hal ini mungkin salah satu penyebab terus meningkatnya jumlah PUU di Indonesia, namun tidak efektif dalam implementasinya” demikian dikatakan Umar. (GUN/NN/NR/YAY)