Pematangsiantar, BPHN.go.id – Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar seminar nasional bertajuk “Pancasila Etika Bangsa” di Pematangsiantar, Sumatera Utara, Kamis (31/1). Acara ini berhasil menyedot ribuan peserta berkat dukungan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Sekolah Tinggi Theologia Huria Kristen Batak Protestan (STT HKBP).

Dalam pemaparannya, Kepala BPHN Prof R. Benny Riyanto mengatakan bahwa persoalan hukum yang mengemuka saat ini salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman di mana hukum sebagai entitas yang terlepas dari etika. Hingga saat ini, masih muncul anggapan bahwa hukum dengan etika tidak memiliki hubungan satu sama sekali padahal keduanya seharusnya saling bersinergi.

“Ruh hukum adalah etika. Jika hukum diibaratkan perahu, maka etika diibaratkan lautan. Jika etikanya ‘kering’, maka hukum tidak akan bisa berlayar,” kata Prof R. Benny sewaktu membawakan makalah berjudul “Membangun Hukum yang Berjiwa Pancasila sebagai Penguatan Nilai-Nilai Pancasila”.

Aparat penegak hukum harus memiliki etika yang berlandaskan Pancasila. Etika menjadi benteng agar tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai marwah keluhuran seorang penegak hukum. Etika berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila, kata Prof R. Benny harus didorong dan ditingkatkan. Sebagai generasi saat ini, lanjut Prof R. Benny, kita wajib menjadikan Pancasila sebagai sistem etika dan tindakan.

“Wujud Pancasila dalam etika adalah Hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Inilah ujian yang harus kita lewati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat disadari sedari awal oleh pendiri Negara tidak mudah membangun kokoh Negara bangsa dengan kebesaran, keluasan dan kemajemukan yang luar biasa karena Indonesia memiliki lebih dari lima ratus suku bangsa dan bahasa, ragam agama, budaya dan kelas sosial di dalam sekitar 17.508 pulau,” kata Prof R. Benny.

Rencana Pembangunan Jangka Pancang (RPJP) 2005-2025 merumuskan visi “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”, salah satunya dengan mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Dikatakan Prof R. Benny, dalam perspektif Negara hukum Pancasila, harus dipahami bahwa pancasila bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law) melainkan sebagai sumber moral dan etika (source of ethics). Kedua perspektif hukum dan etika ini harus dijadikan sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal inklusif tersebut dapat mempersatukan semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan sistem ideologi, falsafah, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha membangun demokrasi yang ditopang oleh semangat the rule of law and rule of ethics secara berkesinambungan,” kata Prof R. Benny.

Sebagai informasi, seminar yang digelar selama satu hari ini diikuti 1.000 orang dengan beragam latar belakang profesi. Terdapat dua panel diskusi yang menghadirkan pembicara papan atas diantarnya Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Prof Widodo Ekatjahjana, dan Anggota Komisi I DPR RI Martin Hutabarat. Seminar ini memiliki benang merah, yakni membumikan Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyampaikan bahwa saat ini sedang digagas RUU tentang Etika Berbangsa dan Bernegara. Ia menyebut, BPHN dapat mengawal proses penyusunan kajian awal serta naskah akademik RUU tentang Etika Berbangsa dan Bernegara. Sementara itu, Sekretaris BPHN Audy Murfi MZ, yang hadir dalam forum menyoroti betul pentingnya menginstitusionalisasikan Pancasila dalam pembentukan dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan.

“Diletakannya Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum mengandung makna bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan maupun analisis peraturaan harus bernafaskan Pancasila”, kata Audy.

(Erna Priliasari/Nanda Narendra)