BELUM WAKTUNYA ADA “SUNSET CLAUSE” DI INDONESIA

 

Jakarta, WARTA-bphn

Kamis, 18 Desember 2014, BPHN bersama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Kementerian terkait melaksanakan kegiatan pembahasan “Peta Jalan Pembaharuan Hukum SDA-LH”. Pembahasan yang dipimpin oleh Kepala BPHN, Enny Nurbaningsih dengan didampingi Mas Ahmad Santosa, Deputi VI UKP4 tersebut dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti agenda dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) tentang “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”. Salah satu agenda NKB Kehutanan ini adalah  harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan,  disamping dua agenda lain yaitu penyelarasan teknis dan prosedur, serta resolusi konflik berdasar prinsip keadilan dan HAM.

Selama ini proses harmonisasi lazim dilakukan terhadap rancangan undang-undang, maupun rancangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Namun, agenda harmonisasi regulasi dari NKB Kehutanan kali ini melakukan evaluasi  terhadap undang-undang atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang telah ada, untuk kemudian diformulasi ulang agar menjadi harmonis. Konsekuensi dari harmonisasi yang demikian adalah regulasi yang diharmonisasi bukan hanya tentang kehutanan, melainkan lebih luas adalah peraturan yang terkait dengan sumber daya alam (SDA).

Disharmoni perundang-undangan (regulasi) di bidang kehutanan semakin kelihatan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011 terkait pengujian Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Secara umum, disharmoni ini terjadi karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam hirarki yang beragam sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimulai dari level paling tinggi sampai dengan Perda Kabupaten Kota. Dari sini terlihat bahwa banyak sekali lembaga/instansi yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan dengan ego masing-masing sektor.

Di bidang kehutanan, ego sektoral semakin nyata dengan ditemukannya penafsiran yang dipersempit dari kata “pemerintah” dalam UU No. 41 Tahun 1999 oleh PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan sebagai Menteri Kehutanan. Padahal, kata “pemerintah” dipahami oleh kementerian lainnya sebagai seluruh instansi Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya.  Disharmoni juga nampak dalam  UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang  membiarkan daratan dibagi habis ke dalam wilayah pertambangan. Begitu pula dengan perebutan konsep pola dan struktur ruang dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Di samping banyaknya peraturan perundang-undangan, sistem hukum yang berlaku juga masih beragam. Terdapat tiga sistem hukum yang masih hidup, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat.

Regulasi di wilayah kehutanan sendiri setidaknya melibatkan 12 (dua belas) Kementerian dan Lembaga, yaitu: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan (yang saat ini telah melebur dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan berganti nomenklatur menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PPN/ Bappenas, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Semakin bertambahnya jumlah peraturan perundang-undangan ini juga diperparah oleh adanya kecenderungan yang melihat bahwa segala permasalahan harus diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam pertemuan tersebut terdapat salah satu usulan untuk memasukkan “sunset clause”, yaitu pasal yang menyebutkan sampai kapan suatu peraturan perundang-undangan berlaku.  Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan peraturan perundang-undangan (overregulation) yang pada akhirnya menyulitkan proses harmonisasi. Meski usulan tersebut sangat ideal dalam membangun sistem hukum nasional tetapi Kepala BPHN menganggap bahwa masih belum saatnya “sunset clause”  diterapkan di Indonesia. Hal ini karena ada potensi justru akan menimbulkan kevakuman hukum jika hal tersebut belum tersistem dengan baik.