Arah Kebijakan Regulasi dalam Mendukung Pembangunan Bidang Kelautan dan Perikanan
Jakarta (6/11), Untuk mendukung arah kebijakan regulasi harus sesuai dengan substansi perubahan UU No. 12 tahun 2011, tentang pembentukan peraturan perundang undangan, yang terdiri dari  Carry Over Prolegnas dan pembahasan RUU, pemantauan dan peninjauan undang-undang, pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Ranperda serta kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan.
Penataan legislasi sesuai dengan siklus pembentukan undang-undang, diantaranya, perencanaan, penyusunan, pembahasan dan pengesahan, implementasi, dan evaluasi (pemantauan dan peninjauan) yang belum diatur dalam UU No. 12 tahun 2011. Penyusunan prolegnas jangka menengah 2020-2024 di lingkungan pemerintah harus memenuhi syarat substantif dan syarat teknis. Untuk syarat substantif sesuai dengan Pasal 18, UU No. 12 tahun 2011, yang bertuliskan bahwa perintah UUD RI tahun 1945, perintah ketetapan MPR, perintah undang-undang lainnya, sistem perencanaan pembangunan nasional, rencana pembangunan jangka panjang nasional, rencana pembangunan jangka menengah, rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR, dan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Sedangkan untuk syarat teknis sesuai dengan pasal 19 ayat (3), UU No. 12 tahun 2011, yang bertuliskan bahwa adanya RUU dan naskah akademik. Dalam penyusunan prolegnas jangka menengah, syarat teknis didasarkan pada  konsepsi RUU yang merupakan hasil penelitian dan pengkajian. Prof. Benny menyampaikan bahwa dalam proses pra legislasi (penyusunan Prolegnas, Penyusunan dan penyelarasan Naskah Akademik) BPHN telah melakukan konstruksi mekanisme yang selalu menitikberatkan pada nilai-nilai Pancasila.  BPHN ingin selalu memastikan bahwa RUU yang akan dibentuk memiliki karakter Pancasila, yang tertuang secara elaboratif dalam Naskah Akademik RUU, dan harus termanifestaikan dalam Draf RUU nya. Dalam proses pasca legislasi, BPHN menyusun Pedoman Analisis dan Evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam pedoman tersebut, Dimensi Pancasila merupakan dimensi yang utama dan memiliki bobot penilaian yang paling besar. Analisis pada Dimensi Pancasila bertujuan untuk melakukan penilaian sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila dalam Pancasila. Untuk Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai, dapat dilaksanakan, serta berdayaguna dan berhasilguna, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (huruf a dan huruf e) UU No. 12 Tahun 2011. jo UU No.15 Tahun 2019 sesuai dengan efektifitas pelaksanaa PUU yang terdapat pada dimensi enam. Penilaian Dimensi enam  ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana keberlakuan dan kemanfaatan dari suatu peraturan perundang-undangan yang bersangkutan di masyarakat, apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan. Penilaian Dimensi enam ini perlu didukung dengan data empiris yang terkait dengan pengimplementasian peraturan perundang-undangan tersebut.  Salah satu cara yang bisa digunakan dalam melakukan penilaian dimensi enam ini adalah dengan melihat apakah tujuan yang menjadi dasar dari pembentukan suatu produk hukum telah dapat diwujudkan dalam kenyataan atau tidak. Jika tujuan yang menjadi dasar dari pembentukan suatu produk hukum tersebut telah dapat diwujudkan dalam kenyataan (di lapangan) maka dapat dikatakan implementasi dari ketentuan hukum tersebut telah efektif. 
Dalam melakukan analisis dan evaluasi pada dimensi enam ini juga dapat dilengkapi dengan penggunaan metode Analisis Beban dan Manfaat (Cost and Benefit Analysis) dengan tujuan untuk menganalisis dampak manfaat dan beban/biaya yang didapat setelah dikeluarkannya suatu produk hukum.