BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) memberikan dasar-dasar konstitusional bagi seluruh warga negara Indonesia dalam menjalani kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi. Dalam menjalankan hubungan manusia dengan manusia, setiap orang pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dengan Tuhan-Nya sebagaimana dijumpai secara maknawi dalam norma filosofis negara, Pancasila. Setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia.

Pangan dan produk lainnya yang ada di bumi baik melalui proses alamiah, mekanisme produksi, maupun melalui rekayasa genetik tidak dapat dikonsumsi secara bebas oleh manusia tanpa batas. Pembatasan tersebut bukan saja terhadap yang diharamkan, akan tetapi yang dihalalkanpun ada pembatasannya dari Allah SWT. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan dengan maksud Firman Allah SWT dalam Al-Qur�an, Surat Al An\'am ayat 141, maknanya dengan ungkapan "jangan berlebih-lebihan", dan makna Sabda Rasullullah SAW : " Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas". Karena itu, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan produk lainnya, seseorang harus memenuhi juga tuntunan agama.

Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah. Fenomena yang demikian pada satu segi menunjukkan adanya tingkat kesadaran terhadap pelaksanaan keyakinan menurut hukum Islam, dan pada segi yang lain mendorong timbulnya sensitivitas mereka ketika pangan dan produk lainnya bersentuhan dengan unsur keharaman atau kehalalannya.

Masalah halal dan haram bukan hanya merupakan isu yang sensitif di Indonesia, tetapi juga selalu mengusik keyakinan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam di seluruh dunia amat berkepentingan atas jaminan halal tidak saja terhadap produk makanan, minuman, dan produk lainnya namun juga terhadap proses produksi serta rekayasa genetik. Terhadap produk dan rekayasa genetik dimaksud dibutuhkan respons normatif dari negara guna memenuhi kebutuhan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan norma filosofis negara, Pancasila.

Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia.

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dilempar untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal.

Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.

Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut �label/tanda halal� pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.

Respons positif terhadap kepentingan sertifikasi dan pencantuman tanda halal pada pangan dan produk lainnya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik yang berkaitan dengan sertifikasi dan pencantuman tanda halal. Oleh karena itu pengaturan demikian belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal. Bagi Republik Indonesia sebagai negara yang mempunyai bagian terbesar warga negara dan penduduk yang beragama Islam, memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum terhadap kehalalan pangan dan produk lainnya adalah conditio sine qua non.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, diperlukan upaya pengaturan dan penataan suatu proses penjaminan kehalalan pangan dan produk lainnya dalam suatu undang-undang yang mengatur tentang jaminan produk halal yang komprehensif, konsisten, sistemik, dan mampu memberikan kepastian hukum bagi adanya jaminan halal pada setiap pangan dan produk lainnya.

Pengaturan dalam undang-undang mengenai jaminan halal ini tidak akan berbenturan dengan sistem perekonomian nasional menurut Pasal 33 UUD 1945. Akan tetapi pengaturan semacam ini akan memberikan dukungan konstitusional dan yuridis bagi terciptanya pertumbuhan usaha yang sehat dalam kehidupan perekonomian nasional, dan menciptakan persaingan yang sehat pula bagi perdagangan nasional, regional, maupun global.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian latarbelakang, permasalahan yang perlu didudukkan dalam kerangka pembaharuan pengaturan mengenai jaminan produk halal, adalah:

1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam terhadap pangan dan produk lainnya. Keadaan demikian menjadikan umat Islam menemui kesulitan dalam membedakan mana yang halal dan mana yang haram, menimbulkan keraguan lahir dan ketidaktentraman bathin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya.

2. Tidak adanya kepastian hukum mengenai institusi mana di dalam sistem tata negara dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi/lembaga penjamin halal terhadap pangan dan produk lainnya, sehingga tidak terdapat kepastian mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk halal.

3. Produksi dan peredaran produk sulit dikontrol sebagai akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa genetik, iradiasi, dan bioteknologi.

4. Sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan pemerintah seperti halnya sistem yang dipraktekkan di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal.

5. Sistem informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat belum sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-produk yang halal.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Hasil rapat kerja antara Departemen Agama Republik Indonesia dengan Komisi VIII DPR RI pada bulan Pebruari 2005, DPR RI mendesak Pemerintah untuk segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal dalam waktu sesegera mungkin.

Menyikapi perkembangan permasalahan jaminan produk halal serta merespons keinginan para wakil rakyat, Departemen Agama R.I mengambil prakarsa untuk menyusun RUU mengenai Jaminan Produk Halal yang didahului dengan penyusunan Naskah Akademik RUU Jaminan Produk Halal (RUUJPH), berdasarkan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Presiden Presiden dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.

Naskah Akademik ini dibuat dalam rangka memetakan konsep-konsep pemikiran tentang urgensi Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis, yuridis, psikopolitik masyarakat, dan ekonomi. Isi pokoknya adalah gagasan-gagasan konkrit dan aplikatif tentang pendekatan asas, ruang lingkup, dan materi muatan yang akan dituangkan di dalam RUUJPH.

Naskah Akademik ini diharapkan dapat digunakan sebagai:

1. Bahan dasar/acuan bagi penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal;

2. Dokumen yang disertakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal;

3. Bahan pembahasan dalam forum konsultasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-undang tentang Jamianan Produk Halal;

4. Bahan dasar keterangan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal, yang disiapkan oleh Departemen Agama selaku Pemrakarsa.

D. METODE PENDEKATAN

Penyusunan Naskah Akademik RUUJPH dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis yang kemudian diupayakan untuk menarik asas-asas hukum dan rumusan norma yang akan menjadi acuan penyusunan RUUJPH berdasarkan konstatering fakta-fakta filosofis, sosiologis, yuridis, psikopolitik masyarakat , dan ekonomi berkenaan dengan produk halal.

Penarikan asas-asas hukum dan norma merupakan rekomendasi terpenting dari Naskah Akademik ini, yang menjadi tuntunan �materi muatan� untuk dapat dipertimbangkan dalam menerbitkan RUUJPH.

Penyusunan Naskah Akademik didukung oleh studi perbandingan hukum dengan mengambil bahan hukum sekunder tidak hanya dari bahan pustaka Indonesia maupun asing tetapi juga bahan-bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan nasional, ketetentuan-ketentuan yang dibentuk dan dikembangkan organisasi Islam tingkat regional (MABIMS) dan internasional (CODEX Alimentarius Tahun 1997, sistem pengaturan di negara lain (Australia, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Brunei Darussallam), dan hasil pengkajian yang telah dilakukan, serta penelitian yang dilakukan secara yuridis-kualitatif.

Proses penyusunan Naskah Akademik ini melibatkan ahli/pakar dari kalangan ulama, teoritisi, akademisi, ilmuwan (scientist), praktisi hukum, ahli agama Islam, pengusaha, sebagai narasumber melalui penyelenggaraan forum dialog, forum komunikasi, penelitian lapangan, guna menyaring pandangan dan aspirasi dari semua pemangku kepentingan.

 

BAB II

DASAR PEMIKIRAN PERLUNYA

UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

A. DASAR FILOSOFIS

Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila terdapat di dalam Pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945), yang terdiri dari empat alinea. Alinea ke-emmpat memuat rumusan tujuan negara dan dasar negara. Dasar negara adalah Pancasila sedangkan ke-empat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Batang tubuh UUD 1945 mengatur pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya, dengan kata lain batang tubuh atau pasal-pasal di dalam UUD 1945 merupakan perwujudan cita hukum. Pancasila sebagai norma filosofis negara sebagai sumber cita hukum yang terumuskan lebih lanjut dalam tata hukum atau hierarki peraturan perundang-undangan merupakan �kaidah dasar fundamental negara�. Tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Keberadaan suatu Undang-undang dalam tata hukum nasional sebagai norma yang menjabarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga adanya nilai filosofis di dalam undang-undang adalah sebuah kemutlakan.

Butir pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang secara filosofis mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan menjamin untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Ajaran Islam sangat mementingkan kebaikan dan kebersihan dalam semua aspek. Dari segi makanan dan barang gunaan, Islam memerintahkan umatnya agar memakan dan menggunakan bahan-bahan yang baik, suci, dan bersih.

Dalam Al-Qur�an terdapat banyak ayat yang memerintahkan, antara lain yang artinya:

�Wahai orang yang beriman, makanlah dari benda-benda yang baik (yang halal) yang telah kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika betul kamu hanya beribadah kepada-Nya� (QS.2: 172).

Dalam surat lainnya Allah SWT berfirman:

�Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian� (QS. 2:168).

Di dalam ajaran Islam, makanan merupakan tolok ukur dari segala cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi umat Islam tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan secara lahiriah an sich, akan tetapi juga bagian dari kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Dengan demikian halal-haram bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan masalah yang amat penting dan mendapat perhatian besar dalam ajaran agama Islam. Karena masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Allah SWT, seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram atau yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi masalah ini mengandung dimensi duniawi dan sekaligus ukhrawi.

Kebersihan, kesucian dan baik atau buruk sesuatu pangan dan produk lainnya termasuk kosmetik dan obat yang digunakan orang Islam senantiasa terkait dengan hukum halal atau haram. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui informasi yang jelas tentang halal dan haram pangan dan produk lainnya seperti makanan, minuman, kosmetika, obat dan barang gunaan lain.

Dari segi bahasa, pengertian halal ialah perkara atau perbuatan yang dibolehkan, diharuskan, diizinkan atau dibenarkan syari�at Islam. Sedangkan haram ialah perkara atau perbuatan yang dilarang atau tidak diperbolehkan oleh Syari�at Islam.

Bagi umat Islam, mengkonsumsi pangan dan produk lainnya bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik akan tetapi terdapat tujuan lain yang lebih utama yaitu ibadah dan bukti ketaatan kepada Allah SWT dengan cara menegakkan ajaran Islam melalui pengungkapan maqasid al syar\'iah. Al Qur\'an dan al Hadist sebagai sumber hukum umat Islam telah jelas dan terang menetapkan bahwa ada pangan dan produk lainnya yang halal dikonsumsi dan digunakan, dan sebaliknya ada pangan dan produk lainnya yang haram dikonsumsi dan digunakan, serta bahan pangan dan produk lainnya hasil olahan rekayasa genetik yang dapat menimbulkan keraguan mengenai halal-haramnya.

A. DASAR SOSIOLOGIS

Masyarakat muslim Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia. Mereka mulai menyadari bahwa banyak pangan dan produk lainnya yang diragukan kehalalannya karena mereka tidak menemukan petunjuk yang menandakan bahwa pangan dan produk lainnya itu halal dikonsumsi dan digunakan.

Peredaran produk makanan, minuman, obat, kosmetika, dan produk lainnya sebagai hasil dari teknologi pangan, rekayasa genetika, dan iradiasi pangan, saat ini telah merambah ke berbagai pelosok tanah air. Siapa yang bisa menjamin produk hasil rekayasa teknologi pangan, rekayasa genetik, dan iradiasi pangan tersebut halal untuk dikonsumsi oleh umat Islam ?

Posisi masyarakat muslim Indonesia merupakan konsumen terbesar bagi pangan dan produk lainnya. Mereka memiliki hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap pangan dan produk lainnya sesuai dengan keyakinan agamanya. Oleh karena itu mereka perlu diberi perlindungan hukum berupa jaminan kehalalan pangan yang dikonsumsi dan produk lain yang digunakan.

Apabila umat Islam merasa tidak terpenuhi hak konstitusionalnya berupa perlindungan hukum bagi adanya jaminan kehalalan pangan yang dikonsumsi dan produk lain yang digunakan akan berdampak luas bagi perekonomian nasional. Tidak terlaksananya supply pangan dan produk lainnya karena tidak adanya permintaan konsumen terbesar (masyarakat muslim) terhadap pangan dan produk lainnya atau akan menimbulkan ketimpangan dalam proses produksi sehingga terjadi penumpukan produksi atau terjadi kemandekan proses produksi sebagai proses kausalitas dari tidak tersedianya dana operasional untuk proses produksi karena kelangkaan konsumen. Pada posisi itulah secara bertahap akan mengalami kebangkrutan baik dalam bentuk pailit maupun insolvensi.

Keadaan demikian menuntut adanya kepastian hukum dan jaminan halal bagi konsumen khususnya masyarakat Islam sebagai konsumen terbesar terhadap pangan dan produk lainnya. Posisi sosial masyarakat Islam yang demikian menjadi salah satu dasar mengapa diperlukan pengaturan dan penataan jaminan produk halal di dalam suatu undang-undang. Undang-undang itulah yang akan mengatur mengenai mekanisme pengawasan dan sertifikasi jaminan halal terhadap suatu pangan dan produk lainnya, serta adanya kepastian hukum mengenai suatu lembaga pemerintahan yang memiliki keanggotaan yang berasal dari berbagai unsur yang berkaitan dengan kewenangan pemeriksaan, pengawasan, serta sertifikasi jaminan halal. Pengaturan demikian adalah koridor utama tempat mengalirnya kepastian hukum yang memberikan perlindungan hukum bagi dan kepada masyarakat Islam.

Umat Islam perlu memperoleh perlindungan atas ketenteraman dan keamanan batin dalam menjalankan sebagian aturan agama yang menjadi keyakinannya. Ketenteraman dan keamanan merupakan hak dari masyarakat. Salah satu fungsi hukum yang penting adalah menjamin tegaknya keadilan. Keadilan dapat digambarkan sebagai suatu keadilan keseimbangan yang membawa ketenteraman setiap orang yang jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.

Pada satu segi, menyikapi perkembangan teknologi pengolahan makanan, minuman, obat, kosmetika, dan produk lainnya serta mengambil pelajaran dari kasus-kasus yang diduga kuat mengandung unsur haram, masyarakat Indonesia menjadi lebih sensitif dan lebih selektif dalam memilih produk yang halal. Pada segi lain, pengolahan pangan dan produk lainnya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan pencampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja ataupun tidak disengaja. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa lembaga penjamin halal merupakan gabungan yang harmonis dan sinergis dari disiplin ilmu syariah dan ilmuwan (scientist).

B. DASAR YURIDIS

Pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan kewajiban konstitusional Negara dalam hal ini Pemerintah untuk melindungi hak warga negaranya untuk melaksanakan keyakinan dan ajaran agama tanpa ada hambatan dan gangguan yang dapat mengganggu tumbuhnya kehidupan beragama di Indonesia.

Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan :

�Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali�.

Pasal 29 UUD 1945 menyatakan:

Ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selanjutnya di dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pemerintah dapat menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dimana Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat yaitu Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal. Sekalipun Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2006-2009, Presiden dapat mengajukan RUU tentang Jaminan Produk Halal kepada DPR sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hukum Syariah Islam dengan tegas melarang umatnya mengkonsumsi segala hal yang tidak halal atau haram. Namun demikian perlindungan bagi hak umat Islam untuk hidup sehat dan mengkomsusi produk halal sesuai dengan ketentuan Agama Islam (Kitab suci Al Qur�an dan Al Hadits) belum mendapat perlindungan hukum yang memadai dalam sistem hukum nasional.

Ketentuan di dalam Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, belum memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta pemenuhan hak asasi manusia untuk beribadat menurut agamanya dalam hal mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dijamin kehalalannya secara yuridis.

C. DASAR PSIKOPOLITIK MASYARAKAT

Yang dimaksud psikopolitik adalah suatu kondisi nyata di dalam masyarakat tentang tingkat penerimaan (acceptance) atau tingkat penolakan (resistance) terhadap suatu peraturan perundang-undangan apabila telah memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang dalam pembuatannya turut mengikutsertakan masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan produk hukum akan membangun akseptan dan mereduksi serendah mungkin tingkat resistensinya sehingga akan menjadi undang-undang yang ideal apabila keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukannya menjadi faktor penyeimbang dengan komponen pembuat hukum lainnya.

Resistensi terhadap penataan hukum mengenai produk halal tidak diharapkan dari kalangan dunia usaha. Namun demikian, upaya mereduksi resistensi tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan kalangan dunia usaha dalam proses pembentukan Undang-undang Jaminan Produk Halal guna menghindari anggapan bahwa rezim hukum sistem jaminan produk halal akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hal tersebut perlu diakomodasi di dalam undang-undang ini sebagai jaminan pembuktian mengenai adanya kepastian hukum bahwa sistem jaminan produk halal tidak menimbulkan biaya tinggi.

Dengan demikian dalam konteks menghadapi kemungkinan resistensi masyarakat terhadap RUU tentang Jaminan Produk Halal, perlu adanya gerakan sosialisasi yang terus menerus di semua lapisan masyarakat, agar masyarakat dapat memahami urgensi jaminan produk halal diatur oleh suatu undang-undang.

E. DASAR EKONOMI

Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut �label/tanda halal� pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.

Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal akan mendorong daya saing produk nasional mengingat pangsa pasar terbesar bagi para pelaku usaha adalah masyarakat muslim, di samping perkembangan rezim perdagangan internasional yang telah mengaplikasi label halal sebagai instrumen daya saing dan perluasan pangsa pasar (access to market).

Perspektif ekonomi menghendaki perlunya dibuat mekanisme sistem jaminan produk halal yang ekonomis, cepat dengan biaya rendah untuk sertifikasi halal. Sistem jaminan halal juga mencerminkan adanya pengawasan dan pengendalian produk halal oleh Pemerintah. Di tingkat internal produsen, pengendalian produk halal memerlukan perangkat paling tidak adanya halal insurance system yang mengharuskan adanya tim halal dalam perusahaan untuk menjamin kehalalan produknya.

Penerapan sistem jaminan produk halal bukan sama sekali tidak ada biaya yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah. Penyediaan sarana, prasarana, terutama laboratorium dan sumber daya profesional merupakan tantangan yang harus disediakan dengan dukungan anggaran yang besar. Lembaga-lembaga terkait seperti MUI (Komisi Fatwa, LP POM), departemen teknis dan Badan POM misalnya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk melaksanakan fungsi dan kewenangannya terkait dengan sistem jaminan produk halal. Peraturan tentang jaminan produk halal pada dasarnya tidak diarahkan untuk mengubah substansi peraturan yang sudah ada dan sudah berlaku, tidak akan memperpanjang jalur birokrasi perizinan produk, dan tidak akan menambah biaya produksi.

BAB III

ANALISIS