Menuju Pengelolaan Lingkungan Hidup Berkelanjutan: BPHN dan WALHI Cari Solusi Pasca Diundangkannya UU Cipta Kerja

BPHN.GO.ID – Jakarta. Untuk mempertajam dan memperkaya hasil analisis dan evaluasi Tim Kerja Analisis dan Evaluasi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI menyelenggarakan Rapat Kelompok Kerja (Pokja) tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan mengundang narasumber dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Kamis (25/04/2024).

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Nur Ichwan menyampaikan bahwa terdapat permasalahan yang perlu diatasi di dalam pengelolaan lingkungan hidup pasca diundangkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

“Politik hukum UU Cipta Kerja bermula dari keinginan politik (political will) Presiden untuk membentuk UU Cipta Kerja dengan metode hukum untuk semua/segalanya (omnibus law). Ini dimaksudkan untuk penyederhanaan regulasi dan deregulasi pengaturan yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui omnibus law berupa UU Cipta Kerja. Namun di sisi lain, setelah pengubahan pengaturan melalui UU Cipta Kerja terkait lingkungan hidup masih terdapat permasalahan yang perlu diatasi, diantaranya terkait dengan pengaturan Analisis dampak lingkungan (AMDAL), Perizinan, Sanksi, Keterbukaan Informasi, Partisipasi Masyarakat dan lain sebagainya,” pungkas Nur Ichwan dalam kegiatan yang berlangsung di Ruang Rapat Lantai 2 BPHN, Jakarta.

Narasumber dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Wahid Satrio Manggala mengatakan bahwa Penerapan UU Cipta Kerja berpotensi menghambat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
 
“Dengan adanya UU Cipta Kerja menurunkan semangat dan prinsip Strong Sustainability, tidak hanya melihat lingkungan hidup melulu sebagai economic potential tetapi nilai keberlanjutan bagi fungsi ekosistem dan kesejahteraan Masyarakat yang dianut indonesia melalui UU 32 Tahun 2009 dan terdegradasi menjadi Weak Sustainability, teori ekonomi pasar yang bersifat human-centric di mana tidak ada sumber daya alam, sekalipun bersifat critical yang tidak bisa digantikan oleh bentuk-bentuk kapital lainnya. Solusinya adalah dengan mengembalikan kepada UU 32 Tahun 2009 atau membuat peraturan pelaksanaan yang jelas mengatur dan fokus terhadap masalah AMDAL, perizinan, sanksi dan partisipasi masyarakat,” Jelas Nur Wahid Satrio Manggala.

Melalui diskusi ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan dan regulasi yang lebih berkelanjutan di masa depan. Sehingga, terwujud pengelolaan lingkungan hidup yang efektif, efisien, dan selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.