Rancangan Permenkumham Kepatuhan Hukum Atur Standardisasi Penyusunan Laporan Audit

BPHN.GO.ID – Jakarta. Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan HAM, Nur Ichwan menyoroti soal belum adanya suatu standardisasi yang baku mengenai format laporan hasil audit hukum. Hal tersebut diungkap saat Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN menggelar rapat lanjutan Pembahasan Penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Rpermenkumham) tentang Kepatuhan Hukum, Rabu (8/5) di Ruang Rapat lantai 2 BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.

“Belum ada standar baku yang ditetapkan terkait penyusunan laporan hasil audit hukum,” kata Nur Ichwan.

Agenda pembahasan rapat lanjutan tersebut, lanjut Nur Ichwan, fokus membahas substansi terkait tahapan audit hukum pada Badan Usaha, Badan Hukum, dan Badan Publik. Selain itu, rapat juga mengulas dan mendiskusikan mengenai kewajiban pelaporan hasil audit hukum dan tindak lanjut atas rekomendasi hasil dari pelaksanana audit hukum yang telah dilakukan. Sebab, secara pararel juga dibahas dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Kepatuhan Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pelaksanaan Hukum, bahwa ada kewajiban bagi Badan Hukum dan Badan Usaha untuk melaporkan tindak lanjut rekomendasi audit hukum.

“Di dalam draft Rpermenkumham tentang Kepatuhan Hukum ini sendiri belum ada pengaturan mengenai desain dan bentuk Tindak Lanjut Rekomendasi Audit Hukum sebagaimana tertuang di dalam Pasal 18 ayat (7) Rperpres dan Pasal 19 ayat (5) Rperpres terkait pengaturan monitoring pelaksanaan tindak lanjut audit hukum pada Badan Publik,” kata Nur Ichwan.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Rpermenkumham tentang Kepatuhan Hukum, Dwi Agustine, menyampaikan, rekomendasi hasil audit hukum nantinya akan berupa opini atau rekomendasi kepada Badan Usaha, Badan Hukum, dan Badan Publik yang bersangkutan.

"Hasil audit hukum berupa opini, yakni status apakah Badan Usaha, Badan Hukum, atau Badan Publik tersebut ‘Sangat Baik’, ‘Baik’, ‘Cukup Baik’ atau ‘Kurang Baik’," terang Dwi Agustine. (HUMAS BPHN)