BPHN.GO.ID – Yogyakarta. Usaha melakukan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah berlangsung lebih dari separuh abad. Sejak dibahas pertama kali pada tahun 1964, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang mengusung konsep rekodifikasi ini mengalami beberapa kali perubahan lantaran menyesuaikan dinamika dan perkembangan hukum pidana yang sangat pesat.
Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof Eddy OS Hiariej mengatakan, perkembangan hukum pidana yang masif membuat negara-negara terutama negara yang pernah dijajah oleh negara lain harus menyesuaikan KUHP-nya dengan kebutuhan di negaranya masing-masing. Pasca Indonesia merdeka misalnya, terjadi ‘dekodifikasi’ terhadap KUHP, yakni mengeluarkan ‘kejahatan’ yang awalnya diatur oleh KUHP ke dalam undang-undang tersendiri atau yang lebih dikenal sebagai ‘UU yang bersifat Khusus’ atau sektoral.
“Contoh beberapa kejahatan jabatan dikeluarkan dari KUHP, lalu menjadi UU Tipikor. Kejahatan Pemilu dikeluarkan, lalu menjadi UU Pemilu,” kata Wamenkumham dalam acara Diskusi Publik RUU KUHP, Kamis (18/3) di Hotel Tentrem Yogyakarta.
Pembaharuan RUU KUHP saat ini, lanjut Wamenkumham, antara Pemerintah dan DPR RI telah sepakat menyatakan RUU KUHP sebagai rekodifikasi, bukan kodifikasi. Semangat rekodifikasi berupaya memasukkan kembali tindak kejahatan yang sebelumnya diatur melalui berbagai undang-undang secara sektoral ke dalam KUHP. Selama 59 tahun, Tim Pemerintah untuk RUU KUHP telah melakukan konsolidasi dan sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aspek pemidanaan.
“Tim melakukan kajian, ada lebih dari 200 ‘UU Sektoral’ dimasukan ke dalam RUU KUHP. Upaya rekodifikasi ini ditempuh sejak Seminar Hukum Nasional yang pertama tahun 1963 hingga saat ini,” kata Wamenkumham.
Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto, mengatakan, setahun setelah Seminar Hukum Nasional tahun 1963, konsep draf RUU KUHP (Buku I) yang pertama berhasil disusun. Draf tersebut terus berkembang hingga versi finalnya, yakni draf tahun 2015 yang dibahas bersama Pemerintah dan DPR RI secara intens selama empat tahun dan nyaris disahkan dalam Paripurna di DPR RI pada tahun 2019 yang lalu.
“RUU KUHP pertama kali disampaikan ke DPR tahun 2012 pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun belum sempat dibahas dan tahun 2015 Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali ke DPR melalui Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015 tanggal 5 Juni 2015,” kata Kepala BPHN.
Meski belum berhasil disahkan pada tahun 2019, Pemerintah mengklaim DPR RI sangat mendukung agar RUU KUHP bisa segera disahkan menjadi undang-undang pada tahun ini melalui mekanisme Evaluasi Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Sewaktu Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI bersama Kementerian Hukum dan HAM RI tanggal 17 Maret 2021 kemarin, Kepala BPHN menyebutkan, salah satu rekomendasi Rapat Kerja itu adalah mempercepat penyelesaian undang-undang di bidang hukum pidana, salah satunya RUU KUHP pada tahun 2021.
“RUU KUHP punya tiket emas untuk dibahas tidak dari awal atau carry over berkat revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019. Tujuan utama carry over ini adalah untuk menyelamatkan RUU KUHP tersebut,” kata Kepala BPHN.
Sebagai informasi, Diskusi Publik RUU KUHP hari itu juga dirangkaikan dengan Diskusi Publik UU tentang Transaksi Informasi Elektronik (UU ITE). Diskusi tersebut dalam rangka menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo untuk mengkaji implementasi UU ITE di tataran teknis secara lebih komprehensif oleh Tim Pengkajian UU ITE yang dikoordinatori Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Dengan digelarnya kegiatan ini, Tim Pengkajian UU ITE yang salah satu anggotanya adalah Kementerian Hukum dan HAM RI, akan banyak mendapatkan masukan dan pengalaman dari aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim, dan praktisi hukum dalam mengimplementasikan UU ITE. (Humas BPHN)