Jakarta, BPHN.go.id – Meski memiliki potensi yang besar, pembiayaan berbasis kekayaan intelektual belum banyak dilirik oleh lembaga jasa keuangan. Padahal, beleid yang menjadi acuan pelaksanaanya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, berlaku efektif mulai 12 Juli 2023 silam. Perlu adanya dorongan pemerintah agar pemangku kepentingan (stakeholders) melaksanakan mandat dari aturan tersebut.

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI, Yunan Hilmy, mengatakan PP Nomor 24 Tahun 2022 menjadi babak baru bagi perkembangan industri kreatif di Indonesia. Salah satu materi pengaturan yang strategis adalah skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual di mana kekayaan intelektual menjadi objek jaminan utang di lembaga keuangan Bank dan non-Bank dalam bentuk jaminan fidusia, kontrak kegiatan ekonomi kreatif, dan/atau hak tagih dalam kegiatan ekonomi kreatif.

“Eksistensi PP Nomor 24 Tahun 2022 diharapkan menjadi salah satu momentum strategis menjadikan industri ekonomi kreatif sebagai ‘tulang punggung’ perekonomian nasional di masa mendatang sekaligus keberpihakan pemerintah terhadap eksistensi pelaku industri ekonomi kreatif di Indonesia,” kata Yunan, dalam sambutannya pada FGD bertajuk Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, digelar Kamis (16/11) di Aula Mudjono lt. 4 gedung BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.  

Kegiatan FGD, kata Yunan, merupakan upaya untuk menjaring masukan dari sejumlah pihak di mana hasil dari diskusi terbatas ini nantinya menjadi bahan pengayaan bagi Tim Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang dalam perjalannya menemukan adanya irisan antara UMKM, ekonomi kreatif, dan kekayaan intelektual, khususnya dalam mengakses pembiayaan berbasis kekayaan intelektual kepada lembaga keuangan formal.    

“Dalam praktiknya, pelaku ekonomi kreatif tidak sedikit yang bergerak pada sektor UMKM. Pada konteks inilah PP Nomor 24 Tahun 2022 sangat relevan bagi Pokja AE UMKM dalam mengantisipasi berbagai potensi persoalan yang dapat terjadi dalam menilai efektivitas keberlakuan dari peraturan tersebut,” kata Yunan.

Dalam kesempatan tersebut, Direktur Regulasi pada Deputi Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sabartua Tampubolon, mengatakan, salah satu kendala yang ditemukan dalam pemanfaatan kekayaan intelektual sebagai jaminan pembiayaan, yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Pasal 45 beleid tersebut, dinilai belum mengakomodasi kekayaan intelektual sebagai salah satu Penilaian Penyisihan Kualitas Aset (PPKA) sehingga implementasi dari PP Nomor 24 Tahun 2022 belum dapat dilaksanakan dengan baik.

“Untuk menindaklanjuti pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 2022, perlu dikaji berbagai regulasi di sektor jasa keuangan termasuk merevisi POJK Nomor 40/POJK.03/2019,” kata Sabartua dalam kapasitasnya sebagai narasumber.

Di samping itu, tantangan yang dihadapi untuk mengimplementasikan PP Nomor 24 Tahun 2022 adalah mengenai mekanisme penilaian aset (valuasi) kekayaan intelektual. Dikatakan Sabartua, pihaknya bersama dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) tengah menggodok semacam standar penilaian di Indonesia mengenai kekayaan intelektual. Tahap penilaian kekayaan intelektual ini menjadi krusial karena menjadi salah satu tahapan prosedur pengajuan pembiayaan. Namun, perlu ada penyamaan persepsi terkait penilaian kekayaan intelektual, yakni peran dari Penilai Kekayaan Intelektual dan Panel Penilai sewaktu melakukan proses valuasi.

“Penilai Kekayaan Intelektual dan Panel Penilai akan kita jembatani,” kata Sabartua.

Partner IP & Entertainment Practice dari firma hukum Assegaf Hamzah & Partners, Ari Juliano Gema, berpendapat, bahwa pihak perbankan perlu melihat potensi yang sangat besar dari pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Mengutip data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2022), jumlah tenaga kerja ekonomi kreatif sebanyak 23,98 juta. Selain itu, masih dari sumber yang sama, tahun 2023 tercatat industri musik Indonesia menghasilkan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp 7 triliun. Sementara dari industri aplikasi dan games tahun 2021, tercatat nilainya mencapai Rp 31,25 triliun.

“Potensi ekonomi yang besar ini jangan terbuang sia-sia atau justru sampai keluar dari Indonesia karena di negara lain justru telah melakukan praktik pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Di awal, pemerintah mesti mengintervensi untuk membangun kepercayaan pada perbankan. Apabila sudah terbentuk kepercayaan, pemerintah bisa mundur pelan-pelan dan bertindak sebagai regulator atau pengawas,” kata Ajo, sapaan akrab Ari Juliano.

Dikatakan Ajo, pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bukan hal baru dan mengada-ada justru Indonesia mengadopsi praktik yang telah mapan dari negara lain. Ambil contoh, Singapura sejak tahun 2014 telah meluncurkan IP Financing Scheme (IPFS). Hal menarik yang dilakukan Singapura adalah pemerintahan mereka memberi subsidi biaya valuasi kekayaan intelektual sebesar 50%. Di Korea, masih menurut Ajo, bahkan lebih komprehensif karena pemerintah Korea mendirikan IP Collateral Recovery Support Organization, yakni badan yang akan melakukan penyelesaian atau membeli kekayaan intelektual, apabila ada perusahaan peminjam yang gagal bayar.

“Selain kedua negara tersebut, negara China bahkan lebih advance lagi karena sudah memulai sejak 2006. Pemerintah China berinisiatif membentuk IP-Pledge Financing Framework untuk memperkuat skema pinjaman dengan jaminan kekayaan intelektual dari berbagai bank,” papar Ajo.

Soal potensi ekonomi yang besar sejatinya diamini oleh perbankan, salah satunya Bank Negara Indonesia (BNI). Business Program Product Dev. & Segment Department Head PT. BNI Persero, Dewi Srianti Wahyuni, mengatakan sektor ekonomi kreatif menjadi penyumbang PDB terbesar pada tahun 2021 pasca pandemi Covid-19, terutama di subsektor kuliner, fesyen, dan kriya dengan total kontribusi mencapai 72,4%. Namun, dari perspektif perbankan, PP Nomor 24 Tahun 2022 memilki sejumlah tantangan tersendiri dalam pengimplementasiannya.

“Ini jadi challenge buat perbankan,” kata Dewi.

Dijelaskan Dewi, setidaknya terdapat tiga poin krusial terkait dengan implementasi PP Nomor 24 Tahun 2022. Pertama, bank tidak memiliki sarana dan prasarana melakukan penilaian kekayaan intelektual. Kedua, pengikatan fidusia atas jaminan kekayaan intelektual yang cenderung berbiaya tinggi dan akan dibebankan kepada calon debitur. Dan Ketiga, mekanisme likuidasi agunan kekayaan intelektual apabila terjadi wanprestasi dari calon debitur.

“Perbankan melihat hal tersebut merupakan tantangan dalam mengimplementasikan PP Nomor 24 Tahun 2022. Tidak melulu soal collateral, di BNI bahkan tidak ada agunan tambahan. Kita melihat potensi bisnis dari usaha yang akan kita danai,” pungas Dewi.

Share this Post