BPHN.GO.ID – Semarang. Pemerintah tengah melakukan roadshow ke sejumlah wilayah untuk menjaring berbagai masukan dalam rangka penyempurnaan draft Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Dari Diskusi Publik ini, pemerintah berharap pasal-pasal krusial yang dipersoalkan oleh sejumlah kalangan bisa dicarikan solusinya sehingga upaya kita memiliki KUHP Nasional yang berkepribadian Indonesia bisa diwujudkan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof Eddy OS Hiariej mengatakan, sejumlah pasal dalam draf RUU KUHP sempat dipersoalkan oleh kalangan masyarakat sipil sekitar akhir tahun 2019, yang mana ketika itu pemerintah dan DPR RI sepakat untuk mengesahkan RUU KUHP. Beberapa poin yang dipersoalkan diantarnya terkait dengan pasal yang mengatur tentang hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law), hukuman mati, serta pengaturan tindak pidana khusus.
“Terdapat 14 isu krusial yang menjadi catatan masyarakat pada saat itu,” kata Wamenkumham, dalam sambutannya di acara Diskusi Publik “Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana”, Kamis (4/3) di Gumaya Tower Hotel Semarang, Jawa Tengah.
Upaya pemerintah mengganti KUHP warisan pemerintah kolonial, lanjut Wamenkumham, telah dimulai sejak tahun 1963. Sudah separuh abad pemerintah terus mengupayakan agar Indonesia memiliki KUHP Nasional yang berkepribadian bangsa Indonesia. Sekalipun Belanda butuh 70 tahun untuk mengganti KUHPnya, Wamenkumham optimis Indonesia bisa lebih cepat dengan catatan ‘keran’ partisipasi masyarakat dibuka seluas-luasnya sehingga tidak lagi ada pasal-pasal yang diberi catatan atau dipersoalkan.
Namun, Wamenkumham tidak setuju bila pemerintah dinilai terburu-buru dalam mengesahkan RUU KUHP mengingat penyusunan dan pembahasannya sudah dilakukan hampir 58 tahun. Di samping itu, Wamenkumham juga tidak sependapat dengan pendapat yang menyatakan bahwa proses penyusunan RUU KUHP tertutup dan tidak mendengarkan aspirasi masyarakat. Pasalnya, terhadap 14 isu krusial yang dilontarkan oleh elemen masyarkat sipil tengah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menggelar roadshow ke sejumlah wilayah. Kota Semarang adalah kota kedua setelah akhir Februari 2020 yang lalu, Tim Pemerintah untuk RUU KUHP menyambangi kota Medan, Sumatera Utara.
“Pemerintah membuka ruang diskusi seluas-luasnya untuk menghimpun masukan dari pihak-pihak pemerhati pembaharuan hukum pidana di Indonesia,” kata Wamenkumham.
Sebagai gambaran, tanggal 18 September 2019, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati RUU KUHP dalam Pembahasan Tingkat I untuk kemudian dibahas dan dibawa ke Rapat Paripurna. Draf RUU KUHP hasil Pembahasan Tingkat I terdiri dari 629 Pasal yang terbagi atas dua buku, yaitu Buku Kesatu (aturan umum) dan Buku Kedua (tindak pidana). Singkat cerita, pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bersurat kepada DPR RI untuk menunda rapat Paripurna pembahasan RUU KUHP.
Dalam kesempatan itu, Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto, mengatakan, pemerintah saat ini tengah menyisir ulang terhadap 14 isu krusial sebagai tindak lanjut dari masukan yang disampaikan berbagai unsur masyarakat serta Kementerian/Lembaga, diantaranya masukan dari Kementerian Kesehatan terkait Pasal 415 dan Pasal 416 tentang Alat Pencegah Kehamilan (kontrasepsi); masukan dari Komnas HAM mengenai Pasal 218 tentang penyerangan kehormatan atau harkat martabat Presiden dan Wakil Presiden; lalu, masukan Komnas Perempuan mengenai Pasal 417 tentang Perzinahan; serta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengenai Pasal 2 tentang living law dan Pasal 100 tentang pidana mati.
“Dengan selesainya penyisiran ulang terhadap 14 isu krusial dan menerima masukan dari masyarakat, maka pada pertengahan tahun 2021, pada saat evaluasi Prolegnas, pemerintah akan mengusulkan RUU KUHP masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2021,” kata Kepala BPHN. Pelaksanaan public hearing ini merupakan salah satu upaya pemerintah sebagai pemenuhan partisipasi masyarakat sesuai dengan pasal 96 UU 12/2011 ttg pembentukan peraturan perundang-undangan, ungkap Kepala BPHN.
Strategi mendorong RUU KUHP agar bisa dibahas bersama DPR RI melalui mekanisme evaluasi atau perubahan Prolegnas Prioritas memang dimungkinkan berdasarkan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional. Dalam Pasal 36 disebutkan, bahwa Prolegnas Jangka Menengah maupun Prolegnas Prioritas Tahunan dapat dilakukan perubahan berdasarkan evaluasi. Nantinya Badan Legislasi DPR RI (Baleg) bersama Menteri Hukum dan HAM membahas bersama usulan RUU dan diakhiri dengan pengambilan keputusan yang dilaksanakan melalui musyawarah untuk mufakat. Bila sepakat, maka Prolegnas Prioritas Tahunan Perubahan ditetapkan dengan Keputusan DPR.
“Memang baru di tahun 2020, Prolegnas Prioritas Tahunan dimungkinkan adanya revisi. Oleh karena itu, di pertengahan tahun nanti sekitar bulan Juli atau Agustus akan ada revisi Prolegnas Prioritas Tahunan. Kita percaya dengan selesainya isu krusial itu, tidak ada lagi hambatan untuk diidorong ke DPR RI,” pungkas Kepala BPHN. *** (Humas BPHN)