Jakarta, 18 September 2020 – Jabatan Fungsional (JF) Analis Hukum lahir tepat waktu disaat fokus pemerintah dalam melakukan penataan regulasi masih sangat tinggi. Kondisi regulasi di Indonesia masih belum ideal, sehingga untuk membentuk regulasi yang lebih sempurna, peran JF Analis Hukum menjadi sangat penting dalam reformasi regulasi di tataran pemerintah mulai dari Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah (Pemda), serta Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).

Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Prof R Benny Riyanto mengatakan, satu dari tiga agenda reformasi hukum jilid II adalah penataan regulasi. Presiden Joko Widodo, dalam sebuah kesempatan mengatakan, penataan regulasi menjadi prioritas dikarenakan kondisi regulasi saat ini belum sempurna, misalnya saling tumpang tindih, multi tafsir, hipperregulasi, kurang efektif, serta kurang sejalan dengan jiwa Pancasila, amanat konstitusi, dan kepentingan nasional. 

“Kondisi yang diharapkan dari penataan regulasi adalah regulasi di Indonesia menjadi harmonis, jelas dan lugas, simple, serta berjiwa Pancasila,” kata Kepala BPHN dalam Sosialisasi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) Nomor 51 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Analis Hukum, Jumat (18/9) yang digelar secara virtual.

Hal mendasar dalam penataan regulasi adalah melakukan evaluasi regulasi. Sejak beberapa tahun lalu, sekitar 2016, pemerintah dalam hal ini BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI telah melakukan evaluasi regulasi atau yang dikenal dengan analisis dan evaluasi regulasi. Fokus evaluasi regulasi yang dilakukan setiap tahunnya, ditetapkan dengan merujuk pada dokumen pembangunan nasional diantaranya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), arah kebijakan pemerintah, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atau Putusan Mahkamah Agung (MA), isu aktual, serta aspirasi masyarakat.

Secara bersamaan, BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI juga merancang sejumlah inisiatif untuk mensukseskan agenda penataan regulasi. Pertama, menyusun pedoman analisis dan evaluasi hukum bernama ‘Pedoman 6 Dimensi’ sebagai tools melakukan analisis dan evaluasi. Pedoman ini menjadi semacam ‘penyaring’ sebelum memberikan rekomendasi akhir atas regulasi yang dievaluasi berupa cabut, ubah, atau tetap.  Kedua, membangun sistem teknologi informasi yang memudahkan proses analisis dan evaluasi di mana sistem ini terhubung dengan database regulasi yang lengkap bernama ‘EVADATA’. 

“Di samping itu, agenda penataan regulasi juga didukung dengan kehadiran Jabatan Fungsional (JF) Analis Hukum serta revisi UU Nomor 12 Tahun 2011,” kata Kepala BPHN.

Kehadiran JF Analis Hukum, kata Kepala BPHN, semacam dukungan dalam kegiatan analisis dan evaluasi terutama pasca lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perubahan regulasi ini menyempurnakan siklus pembentukan regulasi dengan menambah satu alur tambahan berupa ‘tahapan pemantauan dan peninjauan’ yang merupakan amanat Pasal 95A UU Nomor 15 Tahun 2019. Tahapan pemantauan dan peninjauan ini juga dikenal dengan tahap analisis dan evaluasi. 

“Poin pentingnya adalah hasil dari pemantauan dan peninjauan undang-undang dapat menjadi usul dalam penyusunan Prolegnas,” kata Kepala BPHN.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Liestiarini Wulandari mengatakan, JF Analis Hukum dimaksudkan untuk menyediakan wadah pengembangan karir bagi ASN yang selama ini melaksanakan tugas analisis dan evaluasi pada K/L, Pemda, dan LPNK. Selain menjadi instrumen membentuk ASN yang profesional di bidang analisis dan evaluasi, pembentukan JF Analis Hukum juga bertujuan untuk mengatur standarisasi kualifikasi dan kompetensi  para analis hukum.

“Saat ini, ASN yang menangani permasalahan peraturan perundang-undangan dan permasalahan di bidang hukum belum sesuai dengan kompetensi dan tidak dilakukan secara profesional,” kata Lies.

Merujuk Permenpan-RB Nomor 51 Tahun 2020, tugas JF Analis Hukum meliputi analisis dan evaluasi di bidang peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis, pembentukan peraturan perundang-undangan, permasalahan hukum, pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dokumen perjanjian dan pelaksanaan perjanjian, pelayanan hukum, perizinan, informasi hukum, dan advokasi hukum.

Pengangkatan PNS ke dalam JF Analis Hukum dapat dilakukan melalui pengangkatan pertama, perpindahan dari jabatan lain, penyesuaian (inpassing) maupun pengangkatan karena promosi. PNS yang dapat menduduki jabatan ini harus memenuhi standar kompetensi analis hukum meliputi kompetensi teknis, manajerial, dan sosial kultural. Untuk mengoptimalkan capaian kinerja, Pasal 52 Permenpan-RB Nomor 51 Tahun 2020 melarang JF Analis Hukum merangkap jabatan dengan jabatan pimpinan tinggi (Pimti), jabatan administrator (Eselon III), jabatan pengawas (Eselon IV), atau jabatan pelaksana.

“Instansi pembina Jabatan Fungsional Analis Hukum berada di Kementerian Hukum dan HAM RI, dalam hal ini di BPHN,” kata Lies.

Selaku instansi pembina, BPHN bertanggungjawab menjamin standar kualitas dan profesionalitas JF Analis Hukum. BPHN harus menyelesaikan pedoman teknis diantaranya pedoman formasi JF Analis Hukum, Standar Kompetensi JF Analis Hukum, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan, Standar Kualitas Hasil Kerja serta beberapa pedoman teknis lainnya berkenaan dengan fasilitasi pelaksanaan tugas JF Analis Hukum. Pasal 58 Permenpan-RB Nomor 51 Tahun 2020 juga mengamanatkan, organisasi profesi JF Analis Hukum harus dibentuk paling lama lima tahun sejak Permenpan-RB ini diundangkan. 

“BPHN bertanggungjawab untuk menyelesaikan sejumlah aturan turunan atau aturan pelaksana, berupa Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) yang ditargetkan lahir tahun ini,” pungkas Lies. (NNP)

Share this Post