Jakarta, BPHN.go.id - Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia telah memperkenalkan metode analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan bernama ‘Pedoman 6 Dimensi’. Metode ini dipergunakan oleh Kementerian/Lembaga hingga Pemerintah Daerah untuk melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan masih relevan dipertahankan atau perlu diperbaharui bahkan dicabut keberlakuannya.
“Melalui ‘Pedoman 6 Dimensi’ dilakukan penilaian terhadap nilai-nilai Pancasila, penilaian ketetapan jenis peraturan perundang-undangan, penilaian disharmoni pengaturan, penilaian kejelasan rumusan, penilaian kesesuaian norma dengan asas materi muatan, serta penilaian efektivitas atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan,” ungkap Kepala BPHN Prof R Benny Riyanto, sewaktu membuka Rapat Cost and Benefit Analysis Bidang Sosial Budaya, Kamis (13/8) di Aula lt.4 gd. BPHN, Ciliitan – Jakarta Timur.
Hasil akhir dari penilaian tersebut, lanjut Kepala BPHN, nantinya melahirkan tiga rekomendasi atas suatu peraturan perundang-undangan yang dianalisis dan evaluasi, yakni regulasi tersebut tetap dipertahankan, regulasi itu diubah, atau regulasi tersebut dicabut. Namun, sebelum sampai pada kesimpulan akhir, Kepala BPHN menekankan pentingnya penggunaan pendekatan yang tepat sehingga hasil akhir rekomendasi yang dikeluarkan dapat dieksekusi serta dijalankan di tataran implementasi.
Dalam penilaian Dimensi Efektivitas (Dimensi ke-6), Kepala BPHN menuturkan, salah satu metode yang dipakai adalah metode analisis beban dan manfaat atau dikenal sebagai Cost and Benefit Analysis (CBA). Metode ini menilai apakah solusi yang diberikan atas permasalahan yang dianalisis lebih besar biayanya atau sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Pendekatan ini tidak semata-mata fokus pada pendekatan hukum, melainkan perlu menggunakan pendekatan keilmuan yang interdisipliner, seperti aspek ekonomi, sosiologi, hingga hal-hal teknis di tataran pelaksanaan.
“Dengan pendekatan CBA, analisis yang dihasilkan dari Dimensi Efektivitas (dimensi ke-6) akan lebih lengkap dan komprehensif, sehingga memiliki kedayagunaan di dalam pemilihan kebijakan dan rekomendasi yang dihasilkan lebih dapat dipertanggungjawabkan,” sambung Kepala BPHN.
Dalam kesempatan yang sama, pakar CBA dari Center for Regulatory Research, Maman Usman Rasjidi mengatakan bahwa pendekatan CBA akan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan regulasi untuk mendapakatkan alternatif kebijakan terbaik. Kuncinya, pemerintah harus dapat mengidentifikasi berbagai kemungkinan atas dampak yang muncul dari pilihan kebijakan atau regulasi yang nantinya ditetapkan.
“Pemerintah banyak sekali memiliki data, tetapi pemerintah kurang baik dalam menggunakan data tersebut. Maka dari itu, data itu harus diubah menjadi informasi sehingga menjadi sangat berguna dalam pengambilan keputusan,” kata Maman.
Penggunaan pendekatan CBA, lanjut Maman, secara konsep yang sederhana kerap kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ambil contoh, ketika menentukan pilihan transportasi untuk pergi ke kantor. Dari beberapa pilihan moda transportasi, seperti kereta commuterline, mobil pribadi, atau transportasi online berbasis aplikasi, kita acapkali membandingkan dari opsi yang ada, manakah yang paling baik dari segi biaya, waktu, hingga risiko keamanan. Dalam analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan, tidak jauh berbeda pola atau konsepnya hanya saja variabel yang dipakai akan lebih kompleks guna mendapatkan hasil akhir yang terbaik.
“Kita tidak bisa membaca satu pasal saja, tapi membayangkan konsekuensinya kepada si A, B, C, dan D akan seperti apa,” kata Maman. “CBA tidak melulu mencabut atau mengubah undang-undang, tetapi bisa juga memberikan alternatif - alternatif lainnya. Misalnya, persoalan di tataran penegakan hukum, bisa saja persoalannya terkait dengan SDM dan sebagainya,” pungkas Maman. (NNP)