Denpasar, BPHN.go.id – Pemerintah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Lewat pelbagai regulasi, dukungan dan fasilitasi mulai dari awal pendirian hingga pengembangan usaha telah dilakukan akan tetapi UMKM masih belum tumbuh sesuai ekspektasi. Hal ini yang mendorong perlunya dilakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait UMKM. 

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmy, mengatakan salah satu langkah konkret untuk mengoptimalkan pemberdayaan dan pengembangan pelaku UMKM bergantung pada regulasi yang mendukungnya. Namun, dari usianya, payung hukum UMKM sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dipandang perlu dilakukan pembaharuan.

“Usia UU Nomor 20 Tahun 2008 sudah 15 tahun dan sudah banyak dinamikanya. Dilihat dari efektivitasnya, perlu dilakukan analisis dan evaluasi untuk menilai kinerja UU Nomor 20 Tahun 2008,” kata Yunan, saat memberikan arahan pada FGD Analisis dan Evaluasi Hukum Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang digelar secara hybrid, Kamis (8/6) bertempat di Ruang Dharmawangsa Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Bali.

BPHN Kementerian Hukum dan HAM, lanjut Yunan, pada tahun 2023 melakukan analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UMKM lewat Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional UMKM yang beranggotakan dari Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Temuan awal Pokja, ada sejumlah isu krusial yang menjadi tantangan dalam pengembangan dan pemberdayaan pelaku UMKM.

Adapun, isu krusial tersebut, masih kata Yunan, diantaranya terkait dengan pengubahan kriteria UMKM, bentuk pendampingan yang diberikan pemerintah baik di pusat maupun daerah, penggunaan teknologi digital dalam aktivitas UMKM, dan kendala terkait peningkatan daya saing dan ketahanannya. Di samping isu krusial tersebut, Yunan menyebutkan ada persoalan lain yang menonjol seperti persoalan akses kepada modal, keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM), pengembangan produk dan pemasaran. Selain itu, soal aspek legalitas maupun perpajakan serta minimnya pelaku UMKM yang berhasil menembus pasasr ekspor. 

“Terdapat pula persoalan berupa belum idealnya konsep dan pola kemitraan antara kegiatan UMKM dengan kegiatan skala usaha besar,” sebut Yunan. 

Di tempat yang sama, Guru Besar Ilmu Hukum Univerisitas Udayana, Prof Yohanes Usfunan mengatakan, persoalan regulasi adalah persoalan yang serius. Terlebih lagi, konsekuensi dari lahirnya undang-undang adalah perlu dibuat aturan pelaksananya yang mana seringkali antara peraturan pelaksana dengan undang-undang tidak sinkron dan saling tumpang-tindih. Sebaik-baiknya pengaturan yang dibuat, antara undang-undang yang menjadi cantolan peraturan pelaksana tidak sejalan, maka menimbulkan persoalan lain.

“Peraturannya bisa jadi baik, tetapi normanya tidak jelas, tidak clear,” kata Prof Yohanes.

Menambahkan Prof Yohanes, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Nyoman Prabu Buana Rumiartha menjelaskan, sebagian pengaturan dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 telah diubah dan dihapus lewat UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Berdasarkan analisis yang dilakukannya, pengubahan kriteria UMKM yang diatur dalam peraturan baru tersebut belum diikuti dengan penyesuaian kriteria UMKM yang diatur dalam peraturan pelaksana, yakni PP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.

“Perlunya harmonisasi yang substansial. Pada kriteria UMKKM yang ditekankan pendekatan nilai penjualan dan nilai aset, sementara PP Nomor 7 Tahun 2021 menggunakan kriteria nilai penjualan dan modal. Konteks kriteria dan konsistensi penerapannya akan menentukan seberapa efektif kebijakan, program, dan sasaran dalam pengembangan UMKM mengingat tingkat heterogen UMKM yang sangat tinggi,” kata Nyoman memberi contoh. 

Pemalsuan Produk Jadi Musuh Utama
Di samping problem regulasi, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Bali, Ny Putri Suastini Koster menyoroti persoalan pelanggaran kekayaan intelektual turut memberikan kontribusi terhadap lambatnya pertumbuhan pelaku UMKM khususnya di Provinsi Bali. Dalam pengamatannya, maraknya peredaran barang tidak asli alias palsu yang biasanya menawarkan harga jauh lebih murah dengan kualitas yang nyaris mirip berdampak terhadap kelangsungan usaha pelaku UMKM di Bali.

“Banyak pelanggaran kekayaan intelektual yang dialami para pengrajin di Bali,” kata Putri Suastini.

Khusus untuk di Bali, lanjut Putri, untuk jenis karya pengrajin tertentu telah dilindungi lewat mekanisme kekayaan komunal misalnya untuk kerajinan tenun hingga bentuk kekayaan intelektual melalui Indikasi Geografis seperti untuk kain gringsing. Namun, fakta yang terjadi adalah justru hanya sebesar 13 persen kerajinan kain tenun yang dijual di seluruh kawasan Bali sementara itu sisanya justru kain tenun yang proses pembuatan tenunnya dilakukan di luar wilayah Bali. 

“Aspek pelanggaran kekayaan intelektual ini yang jadi pintu masuk untuk kita bisa bersama-sama cari solusi untuk berdayakan pelaku UMKM,” kata Putri Suastini.

Share this Post