BPHN.GO.ID - Bogor – UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau disebut “KUHP Baru” mencabut sebagian pasal terkait delik korupsi sebagaimana diatur UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 21 Tahun 2001. Implikasi serius dari pemberlakuan KUHP Baru ke depan adalah delik korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) alias dipersamakan dengan delik biasa seperti misalnya delik pencurian atau delik penggelapan.

 

“Pemberlakuan KUHP Baru berhubungan langsung dengan UU Tindak Pidana Korupsi (tipikor) tahun 1999 yang diubah tahun 2001, salah satunya ditinggalkannya asas lex specialis derogat legi generalis dengan dimasukkannya ke dalam dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rekodifikasi KUHP,” kata Guru Besar Emeritus Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, saat menjadi narasumber dalam Konsinyering yang digelar Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM yang bertajuk “Refleksi terhadap Politik Hukum Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi”, Senin (6/3) di Bogor, Jawa Barat.

 

Menurut Romli, pembentukan KUHP Baru sejatinya melaksanakan misi dekolonisasi dengan cara melakukan rekodifikasi parsial. Namun ternyata, dalam formalitasnya terjadi rekodifikasi total karena telah terjadi perubahan baik dari aspek filosofi pemidanaan, ke arah filosofi non-pemidanaan atau dengan kata lain meninggalkan filosofi penghukuman semata-mata. Berkaitan dengan ditinggalkannya asas lex specialis derogat legi generalis, hal tersebut merupakan implikasi atas dicabutnya lima pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 21 Tahun 2001, yakni Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13, sebagaimana diatur dalam Pasal 622 ayat (1) huruf l KUHP Baru.

 

Ketika delik tipikor bukan lagi merupakan extraordinary crime melainkan merupakan tindak pidana umum atau biasa dan dipersamakan dengan frasa kejahatan konvensional seperti pencurian dengan kekerasan atau penggelapan, menurut Romli, konsekuensi hukum dari kondisi a quo berimplikasi pada tidak adanya lagi kekhususan kewenangan diantara aparat penegak hukum, mulai dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam menjalankan tugasnya. Salah satu contohnya, misalnya KPK tidak lagi berwenang melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan.

 

“Konsekuensi hukum lain adalah seluruh ketentuan dalam KUHP Baru dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan berlaku sama dalam setiap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, baik yang dilakukan oleh Penyidik Polri, Penuntut Umum, dan Hakim sekalipun oleh KPK,” papar Romli yang juga mantan Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM Periode 2002-2004.

 

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmy berpandangan, permasalahan yang sering menyelimuti praktik penegakan hukum di Indonesia tidak hanya terbatas pada persoalan regulasi, namun juga disebabkan oleh persoalan kelembagaan penegak hukum, budaya hukum, serta dukungan sarana dan prasarana yang belum optimal. Namun harus diakui, bahwa untuk saat ini sistem peradilan pidana terkait penegakan hukum tindak pidana korupsi belum dapat berjalan optimal sehingga belum mampu memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat.

 

“Awal tahun 2023, Transparency International meluncurkan hasil Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) yang hasilnya mengejutkan di mana skor Indonesia turun 4 poin dari tahun sebelumnya dan ini merupakan skor terendah Indonesia sejak tahun 2015,” kata Yunan.

 

Sebagai informasi, pada tahun ini BPHN Kementerian Hukum dan HAM membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi. Adapun sejumlah isu yang disoroti dalam hal substansi salah satunya soal masihkah relevan ketika prasyarat adanya kerugian keuangan negara dalam tipikor. Dari segi kelembagaan, Pokja menyoroti persoalan salah satunya disharmoni kewenangan penindakan antar instansi penegak hukum seperti kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh satu instansi yang sama bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana.

Share this Post