BPHN.GO.ID – Lampung. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai panduan utama bagi para aparat penegak hukum sudah berlaku selama 41 (empat puluh satu) tahun. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membagi kewenangan kelembagaan sesuai dengan prinsip ‘diferensiasi fungsional’. Penyidik bertugas menyidik, penuntut umum melakukan penuntutan, pengadilan memeriksa dan mengadili perkara, dan lembaga pemasyarakatan menjadi tempat untuk menjalankan putusan pemidanaan.

 

“Kami memandang karena usia KUHAP yang sudah cukup lama, perlu dilakukan analisis dan evaluasi untuk mengetahui apakah efektivitas pelaksanaannya masih relevan saat ini. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) juga ingin mencoba mengetahui apakah di masa depan KUHAP masih mampu menjawab permasalahan,” ujar Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum (Kapus AE) BPHN, Yunan Hilmy.

 

Yunan menambahkan, sebagai upaya melakukan analisis dan evaluasi, BPHN membentuk kelompok kerja (pokja). Kelompok kerja beranggotakan dari kepolisian, kejaksaan, imigrasi, kekayaan intelektual dan internal BPHN. “Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Acara Pidana berfokus tentang penyelidikan dan penyidikan,” kata Yunan saat membuka Focus Group Discussion Analisis dan Evaluasi Hukum Acara Pidana: ‘Efektivitas Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia’, Lampung, 6/10/2022.

 

Pokja yang berfokus tahap Penyelidikan dan Penyidikan telah beberapa kali rapat membahas lima permasalahan yang ditemukan. Lima permasalahan ditemukan secara normatif maupun empiris terkait proses penyelidikan dan penyidikan. Ketua Pokja Tongam Silaban menjabarkan permasalahan pertama, penguatan konsepsi mengenai “laporan” dan “pengaduan” (Pasal 1 angka 24 dan 25 KUHAP).

 

Permasalahan kedua lanjut Tongam yaitu mengenai proses penyelidikan yang dilakukan melampaui batas kewenangannya. Ketiga mengenai konsepsi penyelidikan dan penyidikan itu sendiri.

 

Selanjutnya masalah pembedaan antara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Lembaga (Kejaksaan, KPK, BNN). Terakhir permasalahan dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan diterapkannya restorative justice. “Saya sebagai Ketua Pokja ingin mendapatkan masukan di Lampung dari dua narasumber yang berkompeten, yaitu Prof. Maroni Guru Besar Hukum Pidana Universitas Lampung dan Dr. Sopian Sitepu seorang praktisi hukum,” sebut Tongam saat memoderatori FGD.

 

Penegakan hukum pidana atau proses peradilan pidana dapat dibagi dalam tiga tahapan. “Dimulai pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka penyidikan yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan penuntutan oleh Kejaksaan. Selanjutnya ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan untuk pembuktian aspek hukumnya yang dilaksanakan Peradilan. Terakhir, pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap terpidana. Ini dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk pidana hilang kemerdekaan,” kata Maroni.

 

Politik hukum adanya Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP didasarkan pada politik hukum yang terdapat dalam UU. Maroni menjelaskan politik hukumnya terdapat di UU No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara dan UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

 

Sementara Sopian menemukan tantangan dan hambatan proses penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan kasus tindak pidana di daerah. Dia menyebutkan ada lima yang ditemukannya yaitu, penyelidik dan penyidik, pelapor selaku korban, saksi-saksi, terlapor atau pelaku serta internal dan eksternal kepolisian.

 

Satu lagi variabel yang menjadi pembahasan tentang restorative justice. Pemikiran mengenai Restorative Justice telah lama didiskusikan di Indonesia. Saat ini telah diakomodasi dalam Undang-Undang 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam bentuk diversi. Beberapa lembaga seperti Mahkamah Agung, Kepolisian, dan Kejaksaan telah mencoba mengatur mengenai hal ini dalam peraturan lembaganya masing-masing.

 

Kegiatan FGD yang dilaksanakan di Lampung ini membuktikan BPHN aktif melaksanakan salah satu sasaran program Pemerintah dalam pembangunan bidang hukum. Dari sekian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 yaitu melakukan penataan regulasi.

 

Pokja yang dibentuk merupakan bagian dari kegiatan pemantauan dan peninjauan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pokja bekerja dengan menggunakan metode analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh BPHN.

 

Metodenya menggunakan enam dimensi, yaitu sesuai dengan Pancasila, dilihat dari ketepatan jenis perundang-undangan dan mencari apakah terdapat disharmoni pengaturannya. Ditambah lagi melalui kejelasan rumusan, kesesuaian asas bidang hukum perundang-undangan yang bersangkutan dan efektivitas pelaksanaan perundang-undangan.

 

Hadir di forum FGD Kapus AE, Kadiv Administrasi Kanwil Kemenkumham Lampung, dua narasumber, Tim Pokja, peserta lokal Lampung terdiri Kejati Lampung, Polda dan Polres Lampung, BNN Lampung, Universitas Lampung, YLBHI Lampung, Lembaga Advokasi Lampung, serta Kabag Hukum dan Analis Hukum yang ada di Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkumham Lampung. (HUMAS BPHN)

 

 

Share this Post