BPHN.GO.ID – Jakarta. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) telah mengubah beberapa konsep dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Perubahan ini menimbulkan permasalahan hukum terkait lingkungan hidup yang perlu dievaluasi dan diatasi.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Nur Ichwan, menyampaikan beberapa poin penting terkait perubahan UU Cipta Kerja terhadap UU PPLH dalam Rapat Narasumber Tim Pokja PPLH, Selasa (08/07/2024). Poin yang kerap diperbincangkan antara lain UU Cipta Kerja mengurangi definisi dan peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam proses penyusunan dan penilaian Amdal.
“UU Cipta Kerja juga mengubah prosedur penyusunan dan fungsi dari Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL). Tak hanya itu, UU Cipta Kerja menghapuskan izin lingkungan dan mengubah ketentuan mengenai pengawasan dan sanksi administratif,” ujar Nur Ichwan.
Poin lainnya yang menjadi pembahasan, lanjut Nur Ichwan, antara lain UU Cipta Kerja mengubah jenis dan fungsi sanksi pidana serta aturan turunan UU Cipta Kerja, yaitu PP Nomor 22 Tahun 2021, menghilangkan makna substantif dari tanggung jawab mutlak (strict liability).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, menekankan terkait penghapusan Izin Lingkungan yang digantikan dengan Persetujuan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja.
“Dengan dihapuskannya izin lingkungan oleh UU Cipta Kerja (Penghapusan Pasal 40 UU PPLH), izin terkait pengelolaan lingkungan hidup atau pembuangan limbah, yang sebelumnya diwajibkan untuk diintegrasikan ke dalam izin lingkungan, menjadi hidup kembali sebagai izin tersendiri. Kali ini izin tersebut muncul dalam nama lain, yaitu 'Persetujuan Pemerintah Pusat',” ungkap Andri.
Secara keseluruhan, Andri menjelaskan bahwa ketentuan lingkungan hidup dalam Pasal 23 UU Cipta Kerja menghasilkan setidaknya tiga jenis izin, yaitu izin berusaha, persetujuan lingkungan sebagai KKLH atau PKPLH dan persetujuan pemerintah pusat untuk kegiatan pembuangan limbah (dumping). Jenis izin ini lebih banyak dibandingkan dengan izin yang diatur oleh UUPPLH, yaitu izin usaha dan izin lingkungan.
“Bagian ini memperlihatkan bahwa selain gagal mengurangi jumlah izin, UU Cipta Kerja juga mengakibatkan resentralisasi. Kewenangan yang dalam UUPPLH didistribusikan kepada Menteri KLHK, Gubernur, dan Bupati/Walikota menjadi tersentralisasi kembali dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,” tutup Andri. (HUMAS BPHN)