Evaluasi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Kemudahan Berusaha dan Investasi Wajib Memperhatikan Affirmative Action dan Pelestarian SDA

BPHN.GO.ID – Jakarta. Perkembangan regulasi lingkungan hidup di Indonesia terkait pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret seperti penegakan hukum yang tegas, pengembangan kebijakan yang komprehensif, edukasi publik, pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan kerjasama antar pihak. Upaya pelestarian sumber daya alam ini sejalan dengan amanat UUD 1945 untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan kelestarian alam bagi generasi sekarang dan mendatang.


Pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diubah sebanyak 27 Pasal, menghapus 10 Pasal, dan menambahkan 4 Pasal terkait dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengubahan pengaturan melalui UU Cipta Kerja tersebut menimbulkan permasalahan hukum terkait lingkungan hidup yang perlu dievaluasi dan diatasi.


Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Nur Ichwan dalam Rapat Tim Pokja Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Selasa (02/07/2024) menyampaikan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait lingkungan hidup yang diperoleh dari hasil Focus Group Discussion (FGD) Kelompok Kerja PPLH dengan Fakultas Hukum Universitas Mataram dan Dinas LHK Provinsi Nusa Tenggara Barat. 


Menurut Nur Ichwan, permasalahan lingkungan hidup yang belum terselesaikan meliputi pengurangan partisipasi masyarakat dalam penyusunan AMDAL, penarikan wewenang penerbitan persetujuan lingkungan dan uji kelayakan ke Pemerintah Pusat, serta minimnya petugas pengawas lingkungan hidup. "Kurangnya aturan terkait tata cara pengenaan sanksi administratif, daya dukung dan daya tampung beban pencemar, serta budaya masyarakat yang destruktif terhadap lingkungan, semakin memperparah permasalahan pengelolaan lingkungan hidup," jelas Nur Ichwan.


Kemudian, Analis Hukum Ahli Madya Biro Hukum Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Arif Wibowo mengatakan minimnya keterlibatan masyarakat dalam hal kemudahan berusaha yang diatur pada Undang-Undang Cipta Kerja. “Khususnya terkait lingkungan hidup, prinsip kemudahan berusaha yang diemban oleh UU Cipta Kerja dapat dikatakan cacat secara formil karena tidak ada keterlibatan masyarakat dalam prosesnya, dibutuhkan adanya affirmative action,” ungkapnya.


Menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup membutuhkan partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kolaborasi dan sinergi antar pemangku kepentingan sangatlah penting untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan mencapai keseimbangan antara kemudahan berusaha dengan kelestarian lingkungan hidup. (HUMAS BPHN)